Alih Fungsi Lahan Bekas HPH

Alih Fungsi Lahan Bekas HPH menjadi Perkebunan oleh Masyarakat Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi
(Studi Kasus Realita Masyarakat Tebo)
Oleh : Rahmad SA
 
  Gambar 1 Pembukaan Lahan 
Sumber : Foto Rahmad SA (Februari 2012)

Bogor, 30/5/2012. Puluhan ribu hektar lahan bekas HPH yang terletak di sekitar Kecamatan Teluk Kuali, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi dirambah masyarakat. Kejadian ini berlangsung dalam kurun waktu ± 10 tahun. Lahan-lahan terlantar yang ditinggalkan oleh beberapa perusahaan HPH yang pernah beroperasi sekitar tahun 98-an tersebut kini menjadi milik warga. Pasalnya, lahan-lahan tersebut dicap sebagai lahan nenek moyang mereka, bukan “lahan negara”. Sesuai dengan kebudayan dan hukum adat warga Desa Kebung, Kecamatan Teluk Kuali, Kabupaten Tebo, anak laki-laki tertualah yang berhak memiliki dan mengatur tanah warisan nenek moyang tersebut sehingga lahan hutan yang relatif luas tersebut hanya dimiliki oleh beberapa orang saja yang mana kebijakan pengelolaan juga tergantung oleh beberapa orang saja termasuk menjualnya kepada investor baik dari masyarakat luar ataupun masyarakat sekitar yang tergolong kaya. 

Perambahan lahan secara besar-besaran oleh masyarakat adat terjadi pada tahun 2006 – 2009. Berdasarkan pengamatan lapang oleh penulis, diperkirakan lahan yang terambah lebih dari 10.000 hektar dari Desa Kebung Kecamatan Teluk Kuali Kabupaten Tebo sampai taman nasional Bukit 30 (tiga puluh), perbatasan Jambi dan Riau. Lahan hutan yang sebelumnya masih memiliki tutupan vegetasi cukup rapat kini telah terbuka habis oleh masyarakat yang kemudian mulai ditanami tanaman perkebunan, utamanya adalah karet dan sawit. Sehingga jelas terjadilah permasalahan ekologi mulai dari kehilangan biodiver-sitas sampai pada fisik ekologi seperti erosi, dan sedimentasi pada Sungai Batang Tebo/Batang Hari, dan juga kekeringan. 

Selain itu, masalah sosial juga sempat terjadi seperti konflik lahan antara pihak investor dengan warga sekitar, dan warga sekitar dengan pemerintah. Hal ini terjadi karena terkait dengan tenurial/hak kepemilikian lahan. Lahan-lahan yang dimiliki warga tersebut memang tidak bersertifikat karena merupakan hasil rambahan. Namun permasalahan tersebut meredah dengan adanya sikap pemerintah desa yang akan membantu proses pembuatan sertifikat tanah. Tetapi sampai saat ini pun masih belum ada kejelasan tindak lanjutnya –red. 

 Akar Permasalahan
 “Masalah perut adalah masalah nyawa...” begitu kata seorang perambah, kemudian dilanjutkan “...ini adalah tanah nenek moyang kami, kami akan pertahankan hak kami...”. Penulis berpikir bahwa ada benarnya juga apa yang mereka lakukan sebagai bentuk pertahanan dari deskriminasi dan peng-anak-tirian oleh pemerintah. Realita-nya, di sana memang terjadi kecemburuan sosial yang mana pemerintah lebih mengedapankan perusahaan-perusahaan besar beroperasi dan memiliki lahan dalam skala besar, sedangkan masyarakat sulit. Tercatat baru-baru ini lebih dari 600 hektar hutan alam berubah menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) yang dikelolah oleh 13 perusahaan (Tribun Jambi, 14 Februari 2012).

Begitu mudahnya pemerintah memberikan hak kelola hutan kepada perusahaan-perusahaan besar, sedangkan dengan rakyat “kecil” sangat susah padahal dari segi intensitas kelola hutan, rakyat kecil memiliki intensitas dan efek ekologi yang rendah dibanding dengan perusahaan besar. Dari sinilah penulis menyimpulkan bahwa pemerintah sendiri belum mampu mengimplementasikan tujuan utama dari Negara Republik Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4, yakni : “...(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) untuk memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....”   

Solusi Permasalahan 
Keterlanjuran perusahaan dan masyarakat dalam membuka lahan yang mengakibatkan kerusakan hutan, menjadi masalah serius yang harus disikapi. Menurut data dari warsi, seluas 871.776 ha atau sekitar 40 persen dari 2,2 juta ha kawasan hutan jambi telah mengalami kerusakan yang mengakibatkan punahnya puluhan bahkan ratusan ribu satwa dan spesies endemik lainnya. Ribuan hektar lahan gambut bernilai konservasi juga telah disulap menjadi hutan monokultur. Kerusakan nyata lingkungan biofisik yang terjadi di sekitar kecamatan Teluk Kuali dan juga kecamatan Tebo Tengah yaitu hilangnya habitat satwa, erosi dan sedimentasi Sungai Batang Tebo. Untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan seperti sedia kala, tentu akan sulit sekali dan bahkan dapat dikatakan mustahil. Lantas tindakan seperti apa yang harus dilakukan ? 

Dengan demikian penulis berpikir bahwa masyarakat yang terlanjur membuka hutan memang tidak mungkin dipaksa keluar atau diusir dari hutan karena akan melakukan perlawanan yang mengakibatkan timbulnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Mengingat banyaknya konflik terjadi di beberapa wilayah di jambi seperti konflik sengketa lahan di Tanjung Jabung Timur hingga seperti kasus konflik di Mesuji (Lampung), maka pemerintah hendaknya melakukan pendekatan persuasif yang memihak masyarakat dan sifatnya membangun. Didukung atau tidak oleh pemerintah, masyarakat akan tetap melakukan kegiatan pembukaan lahan dan pembangunan perkebunan sawit. Hanya saja jika tidak ada tindakan berupa dukungan dari pemerintah, maka efek kerusakan lingkungan akan mengalami waktu yang panjang dan membuat lahan-lahan yang dibuka tidak produktif. Masyarakat banyak memiliki kelemahan terutama masalah kekurangan biaya dan ilmu pengetahuan. Nah di sinilah peran BUMN dan mahasiswa akan sangat diperlukan. 

  Gambar 2 Sungai Batang Tebo 
Sumber : bungoteboekspres.com
   
 Tindakan yang sudah dilakukan BUMN
BUMN sebagai salah satu pelaku ekonomi, disamping swasta, memegang peranan yang penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, khususnya BUMN yang berbentuk persero oleh karena tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan (USU, 2007). Seperti PT Perkebunan Nusantara VI (Persero) yang merupakan salah satu BUMN telah berperan dalam pemberdayaan masyarakat sekitar kebupaten Tebo melalui program CSRnya. Sebuah badan usaha yang didirikan dengan konsep kemitraan, karena 68% lahan yang dimiliki adalah lahan plasma. Pola kerjasama yang dilakukan dengan masyarakat adalah pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Bentuk pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan dan bantuan keuangan, kultur teknis dan budidaya tanaman serta intrepreunership.

Peran BUMN
Komoditas perkebunan khususnya karet dan kelapa sawit merupakan komoditas unggulan. Tahun 2006 luas kebun karet mencapai 623.825 ha dengan produksi 225.702 ton per tahun (Indonesia Tanah Air Ku, 2007). Di samping karet, sawit juga merupakan salah satu komoditas unggulan provinsi jambi. Produksi tahun 2007 sebanyak 16,89 juta ton yang diekspor menghasilkan devisa (sebesar 7,86 miliar USD) dan menyediakan kesempatan kerja kepada ± 4,5 juta orang. (Indonesian Palm Oil Statistic, 2007) Artinya, perkebunan di Jambi menjadi hal yang utama dalam menunjang perekonomian masyarakat dengan syarat perkebunan milik masyarakat. Salah satu contoh program cukup bagus yang dilakukan oleh kementrian pertanian untuk perkebunan kelapa sawit dengan pola pembiayaan menggunakan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR Revitalisasi Perkebunan). Pola pembiayaan ini, petani peserta yang kemudian dikuasakan kepada koperasi/mitra usaha) mendapatkan fasilitas kredit investasi untuk perluasan dan peremajaan kebun kelapa sawit milik petani peserta dengan jaminan Avalis dari mitra usaha, peserta berkewajiban membayar angsuran beban hutang melalui mitra usaha kepada bank pelaksana, setelah masa pembangunan.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-05/MBU/2007 tertanggal 27 April 2007 tentang Program kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan usaha kecil dan program bina lingkungan dan SKB Menteri Pertanian dan Mentri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor : 73 /Kpts/OT.210/2/98 dan Nomor : 01/SKB/M/II/1998, tentang petunjuk pelaksanaan pembangunan kebun sawit pola Kredit Koperasi Primer, maka BUMN pun perlu menjadi pelaksana pembangunan perkebunan sawit dan karet bersama masyarakat secara terpadu (Integrated Development).

Peran Mahasiswa  
Mahasiswa sebagai kalangan akademisi hendaknya melakukan riset-riset tentang pengembangan dan pembangunan perkebunan berbasis masyarakat. Selain itu juga dapat menjadi pelaku penyuluhan ataupun pendamping dalam suatu program pembangunan perkebunan bersama masyarakat secara terpadu.

Gambar 3 Salah satu contoh perkebunan sawit masyarakat 
Sumber : Foto Rahmad SA (Februari, 2012)

Comments

Post a Comment

Terima kasih atas Saran dan masukannya yang membangun.

Popular posts from this blog

Harga Kayu Meranti 2020

Proposal : Pembangunan Tempat Pengolahan Kayu (Sawmill) Di Sekitar Jalur Cigudeg-Leuwiliang

Penerapan AMDAL pada Pembangunan di Bidang Kehutanan