PENDIDIKAN ISLAM
Mencetak
Pribadi Unggul
Oleh : BKIM 2011
Tidak bisa dipungkiri, bahwa
kondisi pendidikan di negeri kita saat ini babak belur. Dari sisi SDM misalnya,
yang dihasilkan oleh pendidikan kita jauh dari harapan. Saat ini, hampir di
seluruh kota-kota besar tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan
perilaku rusak lainnya seolah-olah menjadi ‘teman karib’ para pelajar sekarang.
Kepribadian mereka kacau; tidak tersentuh sama sekali nilai-nilai Islam.
Memang, ada pelajar-pelajar yang berprestasi dan berkepribadian tangguh, namun
jumlah mereka tidak sebanyak pelajar yang ‘bermasalah’.
Di tingkat lulusan sarjana,
saat ini jumlah penganggurannya sudah diambang angka yang mengkhawatirkan. Jika
ini terjadi maka problem sosial baru akan bermunculan. Jika ditanya, apa penyebab
utama dari carut-marutnya pendidikan di negeri ini, maka penyebabnya bersifat
sistemik, yakni karena diterapkannya sistem pendidikan sekular, dan
dicampakkannya sistem pendidikan Islam.
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar,
terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia
yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini
sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang
Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir ('aqliyyah)
dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling
tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah saw., yaitu:
(1)
Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan
kategori akidah tersebut, yaitu sebagai 'aqîdah 'aqliyyah; akidah
yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
(2)
Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah
memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas
pondasi akidah yang diyakininya.
(3)
Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang
dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya
dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah
mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya,
menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
(1)
Ilmu yang termasuk fardhu 'ain (kewajiban individual), artinya wajib
dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi,
ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh
al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
(2)
Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya
ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan,
seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK
diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam
menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu
tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri
penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan
praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu
tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan
penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan
tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan,
pertukangan, dan lainnya.
Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan
menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan
yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek
saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem
pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3
hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sinergi antara
sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan
tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur
di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini
ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing
unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di
rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan
persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks
bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang
buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di
tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan
yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari
tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga
Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan
bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses pembentukan
kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK
hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian,
dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan
tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK
dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum,
terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang
dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah
kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka
adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada
Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya
mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada
Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau
mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hapalkan kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan
Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi
sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat
diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh.
Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan
bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami
cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi
pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus
dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan
panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan
solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang
disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks
pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk
mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan
dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
Rasulullah saw. bersabda:
]اَلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ[
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan
tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika
mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini
merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini
sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw.
telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan
yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah
kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang
seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa
kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk
pendidikan.
Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa kepala
negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan
orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah
Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah
terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para
pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari
al-Wadliyah bin Atha' yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga
orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan
gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
Perhatian
para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga
sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada
masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah
perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan
ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan
ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta,
kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan
itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji
para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan
peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada
masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan
para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis
buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Khatimah
Wahai kaum Muslim, apakah sistem pendidikan sekuler
yang rusak saat ini akan terus kita pertahankan? Marilah kita bergegas
membangun sistem pendidikan Islam, yang akan melahirkan generasi yang
berkepribadian Islam. Generasi yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kemuliaan
peradaban manusia. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
BKIM 2011
Bidang pendidikan dan kesejahteraan
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas Saran dan masukannya yang membangun.