BAHAN ORGANIK TANAH DALAM AGROFORESTRI


Mata Kuliah Agroforestry                              Hari/Tanggal   : Rabu/28 November 2011

BAHAN ORGANIK TANAH DALAM AGROFORESTRI
(STUDI KASUS DAS KALI TUNDO KABUPATEN MALANG)

Disusun oleh:
 Ahadian Rahmadi (E14090132), Susanti Alfriani M (E14090074), Nadya Susetya N (E14090071), Rahmad Supri A (E14090109), Susi Susanti (E44089001)

Dosen :
Prof. Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
            Lahan sebagai sumberdaya alam mempunyai peranan diantaranya sebagai penghasil komoditi pertanian dan kehutanan. Meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pokok telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan areal pertanian yang lebih luas dan diusahakan lebih intensif. Berdasarkan hal ini maka diperlukan kegiatan pengelolaan lahan yang optimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal untuk memenuhi kebutuhan yang makin meningkat tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk pemanfatan lahan secara optimal adalah melalui kegiatan agroforestri.
Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-komponen yang berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan efesiensi penggunaan air dan meminimalkan runoff serta erosi.  Salah satu peran utama agroforestri dalam mempertahankan kesuburan tanah adalah dengan mempertahankan kandungan bahan organik tanah.
Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk juga mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada didalamnya. Bahan organik inilah yang dapat mempengaruhi struktur dan lapisan tanah. Oleh karena itu perlu kajian tentang penerapan sistem agroforestri terhadap bahan organik tanah.
           

B.     Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui kadar bahan organik tanah dalam kegiatan agroforestri.

BAB II
PEMBAHASAN

Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber ('source') dan pengikat ('sink') hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Macam BOT (Bahan Organik Tanah) dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifat-sifat kimianya. Peranan BOT terhadap perbaikan lingkungan pertumbuhan tanaman disajikan secara skematis dalam Gambar 3. Aktivitas mikroorganisma dan fauna tanah dapat membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas. Telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa pelapukan BO dapat mengikat Al dan Mn oleh asam-asam organik, sehingga dapat memperbaiki lingkungan pertumbuhan perakaran tanaman terutama  pada tanah-tanah masam. Hasil mineralisasi BO dapat meningkatkan ketersediaan hara tanah dan nilai kapasitas tukar kation tanah (KTK), sehingga kehilangan hara melalui proses pencucian dapat dikurangi.

Tanah-tanah pertanian di daerah tropik basah umumnya memiliki kandungan bahan organik yang sangat rendah di lapisan atas. Pada tanah yang masih tertutup vegetasi permanen (hutan), umumnya kadar bahan organik di lapisan atas masih sangat tinggi. Perubahan hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan kadar BOT menurun dengan cepat. Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa alasan:
• Pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi.
• Pengangkutan bahan organik keluar tanah bersama panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan bahan organik. Menurunnya kandungan BOT ini sangat mudah dikenali di lapangan antara lain tanah berwarna pucat dan padat.
Indikasi penurunan BOT biasanya diukur dari kadar C-total dan N-total sehingga diperoleh nilai nisbah C/N, yang selanjutnya oleh model simulasi dapat dipakai untuk menaksir ketersedian hara dari mineralisasi bahan organik. Namun penelitian terakhir membuktikan bahwa kadar C-total bukan merupakan tolok ukur yang akurat, karena hasil dari pengukuran tersebut diperoleh berbagai macam BOT. Menurut Woomer et al. (1994) BOT dibagi dalam beberapa kelompok menurut umur paruh dan komposisinya (Tabel 1). Umur paruh BOT tersebut ditaksir melalui simulasi model CENTURY (Parton et al.,1987). Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa BOT lambat lapuk dan pasif (stabil) berada dalam tanah sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Kelompok ini meliputi asam-asam organik dan bahan organik yang terjerap kuat oleh liat yang tidak tersedia bagi tanaman dan biota. Penetapan kandungan C-total berdasarkan oksidasi basah dengan metoda Walkey & Black adalah mengukur semua kelompok BOT baik yang masih baru maupun yang sudah lama. Hasil penetapan itu tidak dapat dipergunakan untuk studi dinamika BOT pada berbagai sistem pengelolaan lahan karena hasilnya tidak akan menunjukkan perbedaan yang jelas. Untuk itu diperlukan penetapan kandungan fraksi-fraksi BOT sebagai tolok ukur.

Tabel  1.  Pengelompokan BOT berdasarkan umur paruh yang ditaksir melalui simulasi model CENTURY (Parton et al.,1987) dan komposisi kimianya (Woomer  et al.,1994).

Pada prinsipnya (berdasarkan fungsinya) bahan organik tersusun dari komponen labil dan stabil. Komponen labil terdiri dari bahan yang sangat cepat didekomposisi pada awal proses mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue (residu yang tahan terhadap pelapukan) yang merupakan sisa dari proses mineralisasi yang terdahulu. Umur paruh (turnover) adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik sampai habis) dari fraksi labil dan stabil ini bervariasi dari beberapa bulan saja sampai ribuan tahun. Hasil percobaan isotop menunjukkan bahwa fraksi BOT dapat sangat stabil dalam tanah sampai lebih dari 9.000 tahun. Sekitar 60-80 % BOT dalam tanah-tanah pada umumnya terdiri dari substansi humus.
Bahan organik tanah memberikan pengaruh yang menguntungkan bukan hanya pada sifat kimia, tetapi juga sifat fisik dan biologi tanah. Untuk mendapatkan kondisi tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman, diperlukan adanya BOT (C-total) di lapisan atas paling sedikit 2 % (Young, 1989). Jumlah ini didasarkan pada taksiran kasar saja, karena kandungan bahan organik tanah yang optimal berhubungan erat sekali dengan kandungan liat dan pH tanah.
Ada beberapa aspek yang berhubungan dengan pohon dan bahan organik tanah yang perlu diakui dalam penelitian agroforestri. Tanaman keras berkayu berbeda dari tanaman herba dalam tingkat dan waktu penambahan bahan organik, dan sifat bahan tambah. Bahan organik tanah mengacu pada semua bahan organik yang ada dalam tanah. Sebagian besar bahan organik berasal dari tumbuhan sedangkan yang lainnya termasuk jaringan mikroba dan biomassa mati fauna tanah. Pada dasarnya, bahan organik tanah terdiri dari dua bagian, yaitu bahan organik terurai atau humus dan bahan organik yang sudah menjadi bagian dari kompleks tanah koloid, tanaman dan sisa-sisa mikroba yang berada dalam berbagai tahap dekomposisi atau biasa disebut sampah.
Pohon memberikan pengaruh positif terhadap kesuburan tanah, antara lain melalui: (a) peningkatan masukan bahan organik (b) peningkatan ketersediaan N dalam tanah bila pohon yang ditanam dari keluarga leguminose, (c) mengurangi kehilangan bahan organik tanah dan hara melalui perannya dalam mengurangi erosi, limpasan permukaan dan pencucian, (d) memperbaiki sifat fisik tanah seperti perbaikan struktur tanah, kemampuan menyimpan air (water holding capacity), (e) dan perbaikan kehidupan biota. 
Pepohonan dalam sistem agroforestri memberikan masukan bahan organik melalui daun, ranting dan cabang yang telah gugur di atas permukaan tanah. Di bagian bawah (dalam tanah), pepohonan memberikan masukan bahan organik melalui akar-akar yang telah mati, tudung akar yang mati, eksudasi akar dan respirasi akar.
Pemberian bahan organik ke dalam tanah seringkali memberikan hasil yang kurang memuaskan, sehingga banyak petani tidak tertarik untuk melakukannya. Hal ini disebabkan kurangnya dasat pengetahuan dalam memilih jenis bahan organik yang tepat. Pemilihan jenis bahan organik sangat ditentukan oleh tujuan pemberian bahan organik tersebut. Tujuan pemberian bahan organik bisa untuk penambahan hara atau perbaikan sifat fisik seperti mempertahankan kelembaban tanah yaitu sebagai mulsa. Pertimbangan pemilihan jenis bahan organik didasarkan pada kecepatan dekomposisi atau melapuknya. Bila bahan organik akan dipergunakan sebagai mulsa, maka jenis bahan organik yang dipilih adalah dari jenis yang lambat lapuk. Apabila digunakan untuk tujuan pemupukan bisa dari jenis yang lambat maupun yang cepat lapuk. Kecepatan pelapukan suatu jenis bahan organik ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut. Penetapan kualitas dilakukan dengan menggunakan seperangkat tolok ukur, yang berbeda-beda. Untuk setiap jenis unsur hara.
Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur N, yang ditentukan oleh besarnya kandungan N lignin dan plifenol. Bahan organik dikatakan berkualitas tinggi bila kandungan N tinggi konsentrasi lingin dan polifenol rendah. Nilai kritis konsentrasi N adalah 1.9%; lignin dan gt 15%; dan polifenol dan gt 2%. Tolok ukur lain yang juga penting adalah tingginya sinkronisasi saat ketersediaan hara dengan bahan organik saat tanaman membutuhkannya. Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur P yang ditentukan oleh konsentrasi P dalam bahan organik. Nilai kritis kadar P dalam bahan organik yang diperkenankan adalah 0.25%.



STUDI KASUS DAS KALI TUNDO, MALANG

Lokasi Penelitian berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Tundo, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang bagian Selatan. Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa ningkai besi (monolith) ukuran 20 x 20 x 10 cm3, bingkai kayu ukuran 50 x 50 cm2, clinometer, jangka sorong, altimeter, kompas, meteran 30 m, cangkul, cetok, pisau, dan ring sample tanah utuh. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri atas 6 petak s istem penggunaan lahan (SPL) yaitu 1. Hutan, 2. Kopi campuran (multistrata), 3. Kopi pisang, 4. Pisang, 5. Cengkeh, dan 6. Jagung. Pengambilan sample tanah pada setiap petak penggunaan lahan menggunakan cara modifikasi dari protokol yang ditetapkan ICRAF yaitu setiap petak penggunaan lahan yang terpilih dibuat petak transek berukuran 120 m x 5 m.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan Uji F pada taraf 5% dan dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5% serta regresi. Adapun karakteristik tanah yang diamati meliputi pengamatan utama fisik tanah terdiri atas bobot isi, porositas total, dan pori makro dan mikro, pengamatan pendukung terhadap kimia tanah adalah terhadap kandungan nitrogen tanah, pH H2O dan biologi tanah terdiri atas kandungan bahan organik.
Penelitian dilakukan pada enam sistem penggunaan lahan yang saat ini mendominasi di wilayah DAS Kali Tundo yaitu sistem penggunaan lahan hutan, kopi campuran multi strata, kopi pisang, pisang, cengkeh, dan jagung. Pada mulanya keenam satuan penggunaan lahan tersebut adalah hutan. Lokasi penelitian memiliki pH tanah yang hampir sama yaitu pada tingkat netral dengan nilai berkisar dari pH 6 hingga 6,85. Lahan penelitian memiliki kemiringan lahan diatas 30% hingga 65%. Tekstur tanah lokasi penelitian bervariasi dari liat berpasir, lempung, liat berpasir dan lempung berpasir.
Alih guna lahan secara nyata mempengaruhi total bahan organik tanah. Hal ini nampak pada tabel 2, secara nyata penggunaan lahan untuk tanaman monokultur jagung yang dikelola secara intensif memiliki kandungan bahan organik tanah yang terendah. Sementara itu, penggunaan lahan untuk hutan memiliki bahan organik tanah total yang secara nyata tertinggi dibandingkan dengan penggunaan tanah untuk kebun kopi campuran multistrara, kebun kopi pisang, kebun pisang, dan cengkeh.

Tabel 2. Karakteristik Bahan Organik Tanah Total, N total dan C/N pada Berbagai Penggunaan Lahan
Perlakuan
BOT Total %
N total %
C/N
Hutan
3,75
0,29
7,92
Kopi Campuran
2,84
0,30
5,46
Kopi Pisang
2,53
0,23
6,63
Pisang
2,92
0,24
7,31
Cengkeh
2,77
0,23
7,10
Jagung
2,27
0,21
6,42

Pada penggunaan lahan untuk penanaman kopi pisang, pisang, dan cengkeh memiliki persentase kandungan bahan organik tanah total yang tidak berbeda nyata dengan penanaman jagung secara monokultur. Kondisi rendahnya bahan organik tanah pada lahan budidaya (pertanian) dibandingkan lahan hutan, terkait dengan keragaman dan jumlah vegetasi dan timbunan serasah di permukaan tanah dimana hutan akan memiliki keragaman dan jumlah vegetasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian. Alih guna lahan menjadi lahan berbasis kopi campuran multistrata, serta bentuk lahan penggunaan tanaman lainnya secara bertahap akan menimbulkan penurunan bahan organik tanah (BOT), yang diukur dari kandungan total C-organik.
Dinyatakan oleh Palm dan Sanchez, 1991 (dalam hairiah dkk, 2004), rendahnya jumlah dan diversitas vegetasi dalam suatu luasan pada lahan pertanian menyebabkan rendahnya keragaman kualitas masukan bahan organik dan tingkat penutupan permukaan tanah oleh lapisan serasah. Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan tanah berhubungan erat dengan laju pelapukannya. Semakin lambat terdekomposisi maka keberadaannya di permukaan tanah menjadi lebih lama. Laju dekomposisi serasah ditentukan oleh kualitasnya yaitu nisbah C:N, kandungan lignin dan polifenol. Serasah dikategorikan berkualitas tinggi apabila nisbah C:N < 25, kandungan lignin < 15% dan polifenol < 3%, sehingga cepat lapuk.
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa karakteristik nitrogen total tanah pada berbagai penggunaan lahan cenderung tidak berbeda. Walaupun sumber nitrogen terbesar adalah dari bahan organik, tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai penggunaan lahan akan memiliki kandungan nitrogen total yang sama atau tidak saling berbeda nyata. Hal ini diduga berhubungabn dengan kualitas bahan organik (rasio C:N bahan organik) dan kecepatan dekomposisi bahan organik. Kandungan N yang saling tidak berbeda nyata pada berbagai penggunaan lahan maka akan juga mempengaruhi rasio C:N tanah yang akhirnya juga memilki nilai sama pada berbagai penggunaan lahan.
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan di DAS Kali Tundo untuk hutan memiliki total bahan organik tanah yang paling tinggi, demikian halnya bahan organik ukuran partikel serasah, juga memiliki tingkat tertinggi. Sementara itu, pada lahan untuk penanaman cengkeh memiliki bahan organik yang lebih rendah dibandingkan hutan, tetapi memilki tekstur tanah liat berpasir, serta memiliki serasah tertinggi. Tingkat serasah yang tinggi diduga karena pohon cengkeh merontokkan daun cukup banyak. Kondisi demikian menyebabkan lahan untuk peruntukan hutan dan cengkeh memiliki pori makro tetinggi. Selain adanya masukan bahan organik, aktivitas cacing tanah dan akar tanaman juga sangat berpengaruh dalam mempertahankan porositas tanah.



BAB III
KESIMPULAN

            Berdasarkan studi kasus pada DAS Kali Tundo dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan dengan sistem agroforestry akan mempengaruhi karakteristik fisik tanah terutama mengubah kandungan bahan organik tanah total. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan di DAS Kali Tundo untuk hutan memiliki total bahan organik tanah yang paling tinggi, demikian halnya bahan organik ukuran partikel serasah, juga memiliki tingkat tertinggi. Sementara itu, pada lahan untuk penanaman cengkeh memiliki bahan organik yang lebih rendah dibandingkan hutan, tetapi memilki tekstur tanah liat berpasir, serta memiliki serasah tertinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Hairiah, Kurniatun, Didik Suprayogo, Widianto, Berlian, Erwin Suhara, Aris Mardiastuning, Rudy Harto Widodo, Cahyo Prayogo, dan Subekti Rahayu. 2004. Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi : Ketebalan Serasah, Populasi Cacing Tanah dan Makroporositas Tanah. Jurnal Pertanian Agrivita. Universitas Brawijaya, malang.
Hairiah, Kurniatun, Sri Rahayu Utami, Betha Lusiana, dan Meine van Noordwijk. 2004. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem Agroforestri. www.worldagroforestry.org/sea/products/afmodels/.../lecturenote6.pdf
Simanjuntak, Bistok Hasiholan. 2005. Studi Alih Fungsi Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian Terhadap Karakteristik Fisik Tanah (Studi Kasus DAS Kali Tundo, Malang). Jurnal AGRIC Vol. 18 No. 1 Juli 2005 : 85-101.


Comments

Popular posts from this blog

Harga Kayu Meranti 2020

Proposal : Pembangunan Tempat Pengolahan Kayu (Sawmill) Di Sekitar Jalur Cigudeg-Leuwiliang

Penerapan AMDAL pada Pembangunan di Bidang Kehutanan