Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra
==============================================
Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak
dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari
Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya,
ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari
ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca,
ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan
hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan
demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju
Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan
tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka
dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk
menimpali. Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi,
ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya
dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash
Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding
Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena
ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada
Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan
perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk
menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam
karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair,
Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak
kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang
dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga
Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi
finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan
Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah
persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia
mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah
menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu
Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah,
ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar
Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang
sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah
bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang
pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang
masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa
yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk
mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya
‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari
itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama
Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama
Abu Bakr dan ‘Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi
ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar
melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran
musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia
mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh
kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya.
“Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya
berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar
adalah lelaki pemberani. ‘
Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang
banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti
Rasulillah! Tidak.
‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti
Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami
Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya
hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf
yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar
untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin
Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang
lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”,
kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak
mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu
Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan
memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya,
menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya
ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!
Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat
kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda
yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa
Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur
tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat
datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau
penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada
menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam
hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah
cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan
kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke
kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan
nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau
pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali
Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua
perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang
pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh
Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah
mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum
menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa
engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena
pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka
berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah
dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali
ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan
kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian
berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab
Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
============================================
Redaksi – Selasa, 15
Muharram 1435 H / 19 November 2013 10:18 WIB