Preskripsi Silvikultur (Contoh )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan merupakan suatu sumber daya alam yang tak terhitung jumlahnya dan memiliki berbagai keanekaragaman hayati yang cukup tingi dan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan mahluk hidup baik yang ada dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumber daya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global.
Pengelolaan hutan dewasa ini yang semakin meningkat merupakan ancaman kerusakan yang dapat mengakibatkan kemunduran kualitas, serta produktivitas hutan itu sendiri. Semakin tertekannya hutan alam dalam pengelolaannya maka dewasa ini yang digalakkan pengelolaan hutan tanaman yang diharapkan dapat mencakupi keperluan industri-industri perkayuan. Dalam usaha untuk melestarikan hutan, maka prinsip dan cara teknis serta praktek lapang silvikultur perlu diketahui.
Ilmu silvikultur, merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang hutan yang berkaitan dengan pertumbuhan tegakan yang akhirnya dapat memberikan sumbangsih bagi kita. Silvikultur merupakan ilmu dan seni memproduksi dan merawat hutan berdasarkan pengetahuan silvik. Dalam silvikultur informasi silvik digunakan untuk menghasilkan tegakan hutan dan menyusun prosedur teknis untuk melakukan perawatan dan permudaan secara ilmiah dari tegakan hutan tersebut.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu menentukan potensi suatu tegakan dan melatih mahasiswa untuk mengukur diameter, tinggi, LBDS dan menghitung volume tegakan jati (Tectona grandis).
Kegunaan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana potensi suatu tegakan dan mengetahui rumus-rumus dalam mengukur potensi tegakan diantaranya adalah derajat kekerasan penjarangan, MAI dan bonita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bonita
Bonita adalah ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang ditentukan berdasarkan hasil pengukuran tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per hektar (pohon peninggi) dalam suatu tegakan pada umur tertentu. Pohon peninggi adalah tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per hektar, yang menggambarkan pohon-pohon dominan dalam suatu tegakan hutan.
Kualitas tempat tumbuh adalah ukuran tingkat kesuburan tanah yang berhubungan erat dengan produktivitas kayu yang dapat dihasilkan. Sedang yang dimaksud dengan bonita adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas tempat tumbuh. Penetapan nilai bonita sering didasarkan pada hubungan antara rata‑rata peninggi dengan umur tegakan. Salah satu penentu kualitas kayu jati adalah tinggi tanaman jati, semakin tinggi tanaman jati semakin baik kualitas dari jati tersebut. Sedang penilaian bonita melalui penilaian karakteristik lahan mungkin dapat dikernbangkan dan akan lebih bermanfaat khususnya bagi kepentingan perencanaan, pengembangan dan pengelolaan hutan jati (Anonim, 2009).
Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan hubungan antara peninggi dan umur tegakan di lapangan memang sangat praktis tetapi mempunyai kelemahan, dimana penilaian terlalu rendah bagi tegakan yang masih muda dan sebaliknya penilaian tertalu tinggi untuk tanaman yang sudah tua.
Menurut Colie (1952) pertumbuhan tanaman jati sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah satu faktor yang amat penting adalah kondisi tanah. Penelitian kualitas tempat tumbuh berdasarkan sifat sifat tanah yang lebih memberikan keuntungan, karena penilaian kualitas tempat tumbuh ini tidak perlu harus menunggu adanya tegakan. Sedang dalam perencanaan pengembangan hutan jati penilaian kualitas tempat tumbuh sebelum hutan tersebut digunakan sangat perlu.
Evaluasi kualitas tempat tumbuh dapat dilakukan dengan metoda langsung dan tidak langsung. Metoda langsung untuk untuk menentukan kualitas tempat tumbuh adalah dengan menumbuhkan tegakan berkerapatan penuh terhadap jenis yang diinginkan pada suatu tempat tumbuh untuk periode yang direncanakan (Husch, 1972)
B. Penjarangan
Penjarangan merupakan kegiatan yang dijalankan pada tegakan seumur atau kelompok seumur dan tegakan tidak seumur pada setiap saat sebelum permulaan atau periode permudaan. Tujuannya yaitu pemungutan pohon terutama untuk mendistribusikan kembali potensi pertumbuhan atau untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal (Soekotjo, 1992)
Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan, tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan ekonomi untuk memperoleh hasil yang maksimal di kemudian hari. Penjarangan berpengaruh terhadap tegakan yaitu meningkatkan diameter batang, tinggi tegakan dan volume total tegakan. Selain itu, jumlah batang tegakan dan volume tegakan tinggal berkurang. (Frans Wanggai, 2009).
Dampak penjarangan adalah memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada tegakan tinggal, terutama perkembangan tajuk maupun pertambahan riap. Dapat diungkapkan pula bahwa pada penjarangan pohon-pohon dengan diameter yang sangat kecil yaitu kurang dari 5 cm memang tidak menguntungkan dan menambah beban biaya pemeliharaan. Dengan alasan tersebut, maka dalam banyak hal, kegiatan penjarangan tidak dilaksanakan. Jika dianalisis lebih lanjut, maka tampak bahwa pohon-pohon tanpa penjarangan akan sangat berpengaruh pada hasil akhir yang diperoleh dari suatu kawasan hutan.
Manan (1976) mengemukakan bahwa secara alami akan terjadi persaingan dalam suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada kondisi yang demikian, terjadi suksesi hingga mencapai kondisi klimaks, yaitu saat tercapat keseimbangan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan dengan lingkungannya. Pohon-pohon yang tertekan, kalah dalam persaingan akan mati dan ini merupakan penjarangan alami. Dalam proses demikian akan terjadi pengurangan jumlah pohon secara bebas dan tidak teratur akibat seleksi alami dalam suatu kawasan hutan. Selanjutnya diungkapkan bahwa penjarangan secara alami akan membiarkan banyak energi dan materi yang terbuang dalam jangka panjang sehingga memerlukan campur tangan manusia. Untuk itu penjarangan buatan perlu dilakukan agar lebih banyak energi dan materi alam dapat digunakan oleh tumbuhan secara optimum sesuai ruang dan waktu tertentu.
Hawley dan Smith (1962) serta Manan (1976) mengemukakan bahwa pada umumnya terdapat lima metode penjarangan yang digunakan, yaitu :
1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)
Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling bawah dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal dengan istilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini adalah semua pohon dan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang, kemudian disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas sampai pada lapisan tajuk paling atas.
2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)
Berbeda dengan penjarangan rendah, penjarangan tajuk lebih diarahkan pada pohon-pohon kelas tajuk paling atas (dominant trees) dan kelas tajuk pertengahan. Dari proses penjarangan ini maka perbedaan pokok antara low thinning dan crown thinning adalah bahwa dalam crown thinning tidak ada penjarangan ringan karena dimulai dari pohon kelas tajuk paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan untuk penjarangan berikut berasal dari kelas tajuk codominan dan dominan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal dari dua kelas lapisan tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan dari metode penjarangan ini adalah tidak dapat diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi atau sebaran kelas-kelas tajuknya yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.
3. Penjarangan Seleksi (Selection Thinning)
Ciri khusus dari penjarangan ini seleksi adalah dimulai dari pohon-pohon dominan dengan tajuk paling atas akan dimanfaatkan kayunya. Penjarangan seleksi sangat berbeda dengan penjarangan rendah, yaitu dimulai pada pohon-pohon yang tertekan. Prinsip dari penjarangan seleksi adalah memanfaatkan secara maksimal hasil terbaik pohon selama daurnya. Dengan demikian, pohon codominan dan yang tertekan diberi ruang tumbuh yang lebih baik untuk dimanfaatkan kayunya pada penjarangan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa cara penjarangan ini lebih cocok diterapkan pada suatu tegakan yang menghasilkan kayu dengan diameter sedang dan kecil.
4. Penjarangan Mekanik (Mechanical Thinning)
Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan metode mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon adalah posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini diterapkan pada tegakan seumur dan tingginya hampir seragam. Dalam aplikasinya, pohon pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut penjarangan selang atau spacing thinning. Dapat pula penjarangan dilakukan pada pohon-pohon dalam jalur atau lorong dengan jarak tertentu sehingga membentuk jalur-jalur sempit dan disebut pula penjarangan jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan pada tegakan yang berukuran sedang dan setelah mencapai ukuran poles atau tiang maka digunakan metode lain.
5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)
Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode lain sehingga disebut free thinning karena tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan ditebang. Dengan demikian, pohon-pohon yang ditinggalkan berpenampilan kekar dan diharapkan memberikan produk kayu terbaik di kemudian hari (Frans Wanggai, 2009).
C. S%
Besarnya intensitas penjarangan dapat ditetapkan dengan dua cara, yaitu:
1. Berdasarkan S% (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon tertinggi per ha dalam tegakan). Dapat dirumuskan dengan peninggi dalam persamaan sebagai berikut :
2. S% optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan S% optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan.
Besarnya S% pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15-35%. Dasar pertimbangannya adalah hasil penjarangan harus memberikan kesempatan pada pohon-pohon pemenang untuk melebar tajuknya. Dalam sistem ini derajad kekerasan penjarangan dinyatakan dalam S% (Anonim, 2010).
Wolff Von Wulfing (1932) , telah menyusun tabel yang mengutarakan S% untuk berbagai kelas umur bonita tanah . Perubahan S% dalam tegakan jati penting untuk menentukan frekuensi penjarangan . Untuk mengukur S% dengan tepat dari suatu petak percobaan jati Fergusson membuat nomogram yang memberikan hubugan antara luas petak percobaan ,jumlah batang per petak percobaan dan jumlah masing-masing batang per ha dan S% , dengan demikian dapat dilihat dengan tepat perubahan-perubahan dalam kekerasan penjarangan , baik oleh pertumbuhan tegakan sendiri maupun kerusakan (Baharuddin,2010).
D. Kerapatan
Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada. Hal ini penting karena kerapatan tegakan hutan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi dalam rangka pengembangan tegakan (Baker dkk.,1979).
Kerapatan tegakan adalah ukuran kuantitatif stok pohon didasarkan pada jumlah normal, luas bidang dasar dan volume. Kerapatan terbagi atas 2 yakni, kerapatan rendah dan tinggi. Hubungan antara kerapatan dengan pertumbuhan dapat dinyatakan secara umum yaitu jumlah produksi dalam kubik dalam suatu tegakan dengan komposisi tertentu pada umumnya tetap dan optimum dalam suatu kisaran kerapatan (range density) yang besar (Anonim, 2009).
Kerapatan tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi rimbawan dalam pengembangan tegakan. Melalui manipulasi kerapatan tegakan silvikultur dapat mempengaruhi pemantapan jenis selama periode permudaan dan juga memodifikasi kualitas batang, kecepatan pertumbuhan diameter dan bahkan volume produksi selama periode perkembangan tegakan.
Pengaruh kerapatan tanaman terhadap diameter dan tinggi tanaman yaitu semakin besar kerapatan tanaman maka semakin kecil diameter dan tinggi tanaman dan semakin kecil kerapatan tanaman maka semakin besar diameter dan tinggi tanaman yang ada. Hal ini disebabkan karena kerapatan yang besar berarti jumlah tanaman sejenis banyak tumbuh di ruang sempit, saling berkompetisi untuk mendapatkan air, dan nutrisi yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu diameter batang dan tinggi tanaman tidak dapat tumbuh. Begitupun sebaliknya, jika kerapatan kecil maka air dan nutrisi yang tersedia akan semakin besar dan kesempatan tanaman untuk menyerap air dan nutrisi semakin besar, sehingga diameter batang dan tinggi tanaman bisa tumbuh secara maksimal. Pengaruh kerapatan tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tajuk yaitu semakin besar kerapatan tanaman, pertumbuhan akar dan tajuk tanaman akan semakin kecil karena faktor nutrisi dan air akan diperebutkan oleh banyak tanaman yang sejenis (Anonim, 2007).
BAB III
METODE PRAKTEK
A. Waktu dan Tempat
Kegiatan praktek lapang Silvikultur dilaksanakan pada Sabtu 1 Oktober 2010, pukul 09.00 – selesai. Kegiatan ini bertempat di Hutan Jati, samping Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktek lapang Silvikultur adalah sebagai berikut :
1. Meteran Roll
2. Tali Rapia
3. Pita meter
4. Haga
Sedangkan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Alat Tulis Menulis
2. Tally sheet
C. Prosedur Kerja
Prosedur pelaksanaan yang digunakan dalam praktek lapang Silvikultur adalah :
1. Menentukan lahan lokasi pengamatan.
2. Menentukan pohon induk
3. Membuat plot lingkaran dengan jari - jari (17,8 m x 17,8 m ) dari pohon induk yang telah ditentukan.
4. Mengukur keliling tiap pohon dalam plot menggunakan pita meter
5. Mengukur tinggi total dan tinggi bebas cabang tiap pohon dalam plot menggunakan haga.
6. Mencatat hasil pengkuran ke dalam tally sheet.
D. Metode Analisis Data
Metode pengukuran pohon yang dilakukan pada praktek lapang Silvikultur adalah sebagai berikut :
1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang dikonversi ke diameter, dengan rumus :
2. Mengukur tinggi bebas cabang (TBC) dan tinggi total pohon menggunakan Hagameter dengan jarak antara pengukur dengan pangkal pohon 15 m.
3. Menghitung luas bidang dasar pohon (LBDS) denagn menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
LBDS : Luas bidang dasar
: 3.14
d : Diameter
4. Menghitung volume tinggi total dan volume tinggi bebas cabang (TBC) dengan menggunakan rumus :
Dan
Keterangan :
VT.Tot : Volume tinggi total
T.Tot : Tinggi total
VTBC : Volume tinggi bebas cabang
LBDS : Luas bidang dasar
TBC : Tinggi bebas cabang
f : Angka bentuk (0,8)
5. Menentukan kurva kelas diameter yang terdiri dari jangkauan data (J), banyaknya interval kelas (K), panjang kelas (P) dan batas interval kelas. Adapun rumus-rumusnya adalah sebagai berikut :
6. Menghitung kerapatan individu dan kerapatan LBDS. Adapun rumus-rumusnya adalah sebagai berikut :
Dimana N adalah jumlah seluruh pohon dan n adalah jumlah plot dalam suatu area yang diukur.
7. Menghitung peninggi pohon dengan menggunakan rumus :
8. Menentukan Bonita tegakan dengan cara melihat tabel bonita.
9. Menghitung derajat kekerasan penjarangan (S%) dengan menggunakan rumus:
Dimana N adalah jumlah pohon dalam suatu area yang diukur.
10. Menghitung riap tahunan rata-rata yang terdiri dari volume rata-rata, volume total dan MAI. Adapun rumusnya dalah sebagai berikut :
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Dari hasil pengambilan data yang dilakukan di lapangan dan dari hasil pengolahan data yang terdapat pada lampiran, diperoleh data-data yaitu sebagai berikut :
1. Diameter Pohon, LBDS, dan Volume Tegakan
a. Diameter pohon dihitung dengan cara mengkonversi keliling pohon ke diameter, dengan rumus:
b. Luas bidang dasar atau luas penampang batang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
maka
Plot 1 = Σ Lbds plot 1
= 1.40 m2
Plot 2 = Σ Lbds plot 2
= 2.13 m2
Plot 3 = Σ Lbds plot 3
= 1.37 m2
Plot 4 = Σ Lbds plot 4
= 1.44 m2
Plot 5 = Σ Lbds plot 5
= 1.65 m2
Plot 6 = Σ Lbds plot 6
= 2.02 m2
Plot 7 = Σ Lbds plot 7
= 1.86 m2
Plot 8 = Σ Lbds plot 8
= 1.79 m2
Plot 9 = Σ Lbds plot 9
= 2.00 m2
Plot 10 = Σ Lbds plot 10
= 1.42 m2
LBDS rata-rata/plot:
LBDS Total/Ha:
c. Volume pohon dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Volume Bebas Cabang
Volume Tinggi Total
maka
Plot 1 = Σ Volume plot 1
= 9.56 m2
Plot 2 = Σ Volume plot 2
= 8.73 m2
Plot 3 = Σ volume plot 3
= 8.37 m2
Plot 4 = Σ Volume plot 4
= 7.86 m2
Plot 5 = Σ Volume plot 5
= 15.18 m2
Plot 6 = Σ Volume plot 6
= 7.24 m2
Plot 7 = Σ Volume plot 7
= 5.29 m2
Plot 8 = Σ Volume plot 8
= 7.42 m2
Plot 9 = Σ Volume plot 9
= 10.95 m2
Plot 10 = Σ Volume plot 10
= 8.56 m2
Volume rata-rata/plot:
Volume total/Ha:
2. Kurva Kelas Diameter Pohon
a. Jangkauan Data (J)
J = dmax – dmin
Untuk semua plot dari plot 1- plot 10 :
b. Banyaknya Interval Kelas (K)
c. Panjang Interval Kelas
3. Kerapatan Tegakan
a. Kerapatan Individu
b. Kerapatan LBDS
4. Kerapatan Tegakan
a. Kerapatan = N/luas area
= Kerapatan plot 1 + plot 2 + plot 3 + plot 4 + plot 5 + … + plot 10
=53+81+55+69+74+65+77+60+81+60
1 (Ha)
= 675 Pohon/Ha
b. Kerapatan = Lbds/Luas
= LBDS = (π/4)d2
= LBDS plot 1 +plot 2+plot 3+plot 4+ plot 5+plot 6+…+ plot 10
1 (Ha)
= 1.36+2.12+1.33+ 1.44+1.65+2.03+1.87+ 1.80+2.00+1.40
1 (Ha)
= 17
1(Ha)
= 17 m2/Ha
5. Kerapatan
a. Kerapatan Individu
- Plot 1 = 53 - Plot 6 = 65
- Plot 2 = 81 - Plot 7 = 77
- Plot 3 = 55 - Plot 8 = 60
- Plot 4 = 69 - Plot 9 = 81
- Plo1 5 = 74 - Plot 10 = 60
b. Kerapatan LBDS
- Plot 1 = 1.40 m2 - Plot 6 = 2.02 m2
- Plot 2 = 2.13 m2 - Plot 7 = 1.86 m2
- Plot 3 = 1.37 m2 - Plot 8 = 1.79 m2
- Plot 4 = 1.44 m2 - Plot 9 = 1.99 m2
- Plo1 5 = 1.65 m2 - Plot 10 = 1.42 m2
6. Peninggi
- Plot 1 = 152/10 = 15.2 m - Plot 6 = 179.5/10 = 17.95 m
- Plot 2 = 175/10 = 17.5 m - Plot 7 = 134/10 = 13.4 m
- Plot 3 = 208/10 = 20.8 m - Plot 8 = 150.3/10 = 15.03 m
- Plot 4 =202/10 = 20.2 m - Plot 9 = 204.5/10 = 20.45 m
- Plo1 5 =215.2/10 =21.52 m - Plot 10 = 223/10 = 22.3 m
7. Bonita
Umur tegakan jati (Tectona grandis) adala 12 tahun, maka penentuan bonitax adalah sebagai berikut :
8. S% (Derajat Kekerasan Penjarangan)
http://aldrenp.blogspot.com/
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan merupakan suatu sumber daya alam yang tak terhitung jumlahnya dan memiliki berbagai keanekaragaman hayati yang cukup tingi dan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan mahluk hidup baik yang ada dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumber daya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global.
Pengelolaan hutan dewasa ini yang semakin meningkat merupakan ancaman kerusakan yang dapat mengakibatkan kemunduran kualitas, serta produktivitas hutan itu sendiri. Semakin tertekannya hutan alam dalam pengelolaannya maka dewasa ini yang digalakkan pengelolaan hutan tanaman yang diharapkan dapat mencakupi keperluan industri-industri perkayuan. Dalam usaha untuk melestarikan hutan, maka prinsip dan cara teknis serta praktek lapang silvikultur perlu diketahui.
Ilmu silvikultur, merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang hutan yang berkaitan dengan pertumbuhan tegakan yang akhirnya dapat memberikan sumbangsih bagi kita. Silvikultur merupakan ilmu dan seni memproduksi dan merawat hutan berdasarkan pengetahuan silvik. Dalam silvikultur informasi silvik digunakan untuk menghasilkan tegakan hutan dan menyusun prosedur teknis untuk melakukan perawatan dan permudaan secara ilmiah dari tegakan hutan tersebut.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu menentukan potensi suatu tegakan dan melatih mahasiswa untuk mengukur diameter, tinggi, LBDS dan menghitung volume tegakan jati (Tectona grandis).
Kegunaan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana potensi suatu tegakan dan mengetahui rumus-rumus dalam mengukur potensi tegakan diantaranya adalah derajat kekerasan penjarangan, MAI dan bonita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bonita
Bonita adalah ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang ditentukan berdasarkan hasil pengukuran tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per hektar (pohon peninggi) dalam suatu tegakan pada umur tertentu. Pohon peninggi adalah tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per hektar, yang menggambarkan pohon-pohon dominan dalam suatu tegakan hutan.
Kualitas tempat tumbuh adalah ukuran tingkat kesuburan tanah yang berhubungan erat dengan produktivitas kayu yang dapat dihasilkan. Sedang yang dimaksud dengan bonita adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas tempat tumbuh. Penetapan nilai bonita sering didasarkan pada hubungan antara rata‑rata peninggi dengan umur tegakan. Salah satu penentu kualitas kayu jati adalah tinggi tanaman jati, semakin tinggi tanaman jati semakin baik kualitas dari jati tersebut. Sedang penilaian bonita melalui penilaian karakteristik lahan mungkin dapat dikernbangkan dan akan lebih bermanfaat khususnya bagi kepentingan perencanaan, pengembangan dan pengelolaan hutan jati (Anonim, 2009).
Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan hubungan antara peninggi dan umur tegakan di lapangan memang sangat praktis tetapi mempunyai kelemahan, dimana penilaian terlalu rendah bagi tegakan yang masih muda dan sebaliknya penilaian tertalu tinggi untuk tanaman yang sudah tua.
Menurut Colie (1952) pertumbuhan tanaman jati sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah satu faktor yang amat penting adalah kondisi tanah. Penelitian kualitas tempat tumbuh berdasarkan sifat sifat tanah yang lebih memberikan keuntungan, karena penilaian kualitas tempat tumbuh ini tidak perlu harus menunggu adanya tegakan. Sedang dalam perencanaan pengembangan hutan jati penilaian kualitas tempat tumbuh sebelum hutan tersebut digunakan sangat perlu.
Evaluasi kualitas tempat tumbuh dapat dilakukan dengan metoda langsung dan tidak langsung. Metoda langsung untuk untuk menentukan kualitas tempat tumbuh adalah dengan menumbuhkan tegakan berkerapatan penuh terhadap jenis yang diinginkan pada suatu tempat tumbuh untuk periode yang direncanakan (Husch, 1972)
B. Penjarangan
Penjarangan merupakan kegiatan yang dijalankan pada tegakan seumur atau kelompok seumur dan tegakan tidak seumur pada setiap saat sebelum permulaan atau periode permudaan. Tujuannya yaitu pemungutan pohon terutama untuk mendistribusikan kembali potensi pertumbuhan atau untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal (Soekotjo, 1992)
Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan, tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan ekonomi untuk memperoleh hasil yang maksimal di kemudian hari. Penjarangan berpengaruh terhadap tegakan yaitu meningkatkan diameter batang, tinggi tegakan dan volume total tegakan. Selain itu, jumlah batang tegakan dan volume tegakan tinggal berkurang. (Frans Wanggai, 2009).
Dampak penjarangan adalah memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada tegakan tinggal, terutama perkembangan tajuk maupun pertambahan riap. Dapat diungkapkan pula bahwa pada penjarangan pohon-pohon dengan diameter yang sangat kecil yaitu kurang dari 5 cm memang tidak menguntungkan dan menambah beban biaya pemeliharaan. Dengan alasan tersebut, maka dalam banyak hal, kegiatan penjarangan tidak dilaksanakan. Jika dianalisis lebih lanjut, maka tampak bahwa pohon-pohon tanpa penjarangan akan sangat berpengaruh pada hasil akhir yang diperoleh dari suatu kawasan hutan.
Manan (1976) mengemukakan bahwa secara alami akan terjadi persaingan dalam suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada kondisi yang demikian, terjadi suksesi hingga mencapai kondisi klimaks, yaitu saat tercapat keseimbangan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan dengan lingkungannya. Pohon-pohon yang tertekan, kalah dalam persaingan akan mati dan ini merupakan penjarangan alami. Dalam proses demikian akan terjadi pengurangan jumlah pohon secara bebas dan tidak teratur akibat seleksi alami dalam suatu kawasan hutan. Selanjutnya diungkapkan bahwa penjarangan secara alami akan membiarkan banyak energi dan materi yang terbuang dalam jangka panjang sehingga memerlukan campur tangan manusia. Untuk itu penjarangan buatan perlu dilakukan agar lebih banyak energi dan materi alam dapat digunakan oleh tumbuhan secara optimum sesuai ruang dan waktu tertentu.
Hawley dan Smith (1962) serta Manan (1976) mengemukakan bahwa pada umumnya terdapat lima metode penjarangan yang digunakan, yaitu :
1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)
Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling bawah dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal dengan istilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini adalah semua pohon dan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang, kemudian disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas sampai pada lapisan tajuk paling atas.
2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)
Berbeda dengan penjarangan rendah, penjarangan tajuk lebih diarahkan pada pohon-pohon kelas tajuk paling atas (dominant trees) dan kelas tajuk pertengahan. Dari proses penjarangan ini maka perbedaan pokok antara low thinning dan crown thinning adalah bahwa dalam crown thinning tidak ada penjarangan ringan karena dimulai dari pohon kelas tajuk paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan untuk penjarangan berikut berasal dari kelas tajuk codominan dan dominan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal dari dua kelas lapisan tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan dari metode penjarangan ini adalah tidak dapat diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi atau sebaran kelas-kelas tajuknya yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.
3. Penjarangan Seleksi (Selection Thinning)
Ciri khusus dari penjarangan ini seleksi adalah dimulai dari pohon-pohon dominan dengan tajuk paling atas akan dimanfaatkan kayunya. Penjarangan seleksi sangat berbeda dengan penjarangan rendah, yaitu dimulai pada pohon-pohon yang tertekan. Prinsip dari penjarangan seleksi adalah memanfaatkan secara maksimal hasil terbaik pohon selama daurnya. Dengan demikian, pohon codominan dan yang tertekan diberi ruang tumbuh yang lebih baik untuk dimanfaatkan kayunya pada penjarangan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa cara penjarangan ini lebih cocok diterapkan pada suatu tegakan yang menghasilkan kayu dengan diameter sedang dan kecil.
4. Penjarangan Mekanik (Mechanical Thinning)
Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan metode mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon adalah posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini diterapkan pada tegakan seumur dan tingginya hampir seragam. Dalam aplikasinya, pohon pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut penjarangan selang atau spacing thinning. Dapat pula penjarangan dilakukan pada pohon-pohon dalam jalur atau lorong dengan jarak tertentu sehingga membentuk jalur-jalur sempit dan disebut pula penjarangan jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan pada tegakan yang berukuran sedang dan setelah mencapai ukuran poles atau tiang maka digunakan metode lain.
5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)
Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode lain sehingga disebut free thinning karena tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan ditebang. Dengan demikian, pohon-pohon yang ditinggalkan berpenampilan kekar dan diharapkan memberikan produk kayu terbaik di kemudian hari (Frans Wanggai, 2009).
C. S%
Besarnya intensitas penjarangan dapat ditetapkan dengan dua cara, yaitu:
1. Berdasarkan S% (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon tertinggi per ha dalam tegakan). Dapat dirumuskan dengan peninggi dalam persamaan sebagai berikut :
2. S% optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan S% optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan.
Besarnya S% pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15-35%. Dasar pertimbangannya adalah hasil penjarangan harus memberikan kesempatan pada pohon-pohon pemenang untuk melebar tajuknya. Dalam sistem ini derajad kekerasan penjarangan dinyatakan dalam S% (Anonim, 2010).
Wolff Von Wulfing (1932) , telah menyusun tabel yang mengutarakan S% untuk berbagai kelas umur bonita tanah . Perubahan S% dalam tegakan jati penting untuk menentukan frekuensi penjarangan . Untuk mengukur S% dengan tepat dari suatu petak percobaan jati Fergusson membuat nomogram yang memberikan hubugan antara luas petak percobaan ,jumlah batang per petak percobaan dan jumlah masing-masing batang per ha dan S% , dengan demikian dapat dilihat dengan tepat perubahan-perubahan dalam kekerasan penjarangan , baik oleh pertumbuhan tegakan sendiri maupun kerusakan (Baharuddin,2010).
D. Kerapatan
Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada. Hal ini penting karena kerapatan tegakan hutan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi dalam rangka pengembangan tegakan (Baker dkk.,1979).
Kerapatan tegakan adalah ukuran kuantitatif stok pohon didasarkan pada jumlah normal, luas bidang dasar dan volume. Kerapatan terbagi atas 2 yakni, kerapatan rendah dan tinggi. Hubungan antara kerapatan dengan pertumbuhan dapat dinyatakan secara umum yaitu jumlah produksi dalam kubik dalam suatu tegakan dengan komposisi tertentu pada umumnya tetap dan optimum dalam suatu kisaran kerapatan (range density) yang besar (Anonim, 2009).
Kerapatan tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi rimbawan dalam pengembangan tegakan. Melalui manipulasi kerapatan tegakan silvikultur dapat mempengaruhi pemantapan jenis selama periode permudaan dan juga memodifikasi kualitas batang, kecepatan pertumbuhan diameter dan bahkan volume produksi selama periode perkembangan tegakan.
Pengaruh kerapatan tanaman terhadap diameter dan tinggi tanaman yaitu semakin besar kerapatan tanaman maka semakin kecil diameter dan tinggi tanaman dan semakin kecil kerapatan tanaman maka semakin besar diameter dan tinggi tanaman yang ada. Hal ini disebabkan karena kerapatan yang besar berarti jumlah tanaman sejenis banyak tumbuh di ruang sempit, saling berkompetisi untuk mendapatkan air, dan nutrisi yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu diameter batang dan tinggi tanaman tidak dapat tumbuh. Begitupun sebaliknya, jika kerapatan kecil maka air dan nutrisi yang tersedia akan semakin besar dan kesempatan tanaman untuk menyerap air dan nutrisi semakin besar, sehingga diameter batang dan tinggi tanaman bisa tumbuh secara maksimal. Pengaruh kerapatan tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tajuk yaitu semakin besar kerapatan tanaman, pertumbuhan akar dan tajuk tanaman akan semakin kecil karena faktor nutrisi dan air akan diperebutkan oleh banyak tanaman yang sejenis (Anonim, 2007).
BAB III
METODE PRAKTEK
A. Waktu dan Tempat
Kegiatan praktek lapang Silvikultur dilaksanakan pada Sabtu 1 Oktober 2010, pukul 09.00 – selesai. Kegiatan ini bertempat di Hutan Jati, samping Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktek lapang Silvikultur adalah sebagai berikut :
1. Meteran Roll
2. Tali Rapia
3. Pita meter
4. Haga
Sedangkan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Alat Tulis Menulis
2. Tally sheet
C. Prosedur Kerja
Prosedur pelaksanaan yang digunakan dalam praktek lapang Silvikultur adalah :
1. Menentukan lahan lokasi pengamatan.
2. Menentukan pohon induk
3. Membuat plot lingkaran dengan jari - jari (17,8 m x 17,8 m ) dari pohon induk yang telah ditentukan.
4. Mengukur keliling tiap pohon dalam plot menggunakan pita meter
5. Mengukur tinggi total dan tinggi bebas cabang tiap pohon dalam plot menggunakan haga.
6. Mencatat hasil pengkuran ke dalam tally sheet.
D. Metode Analisis Data
Metode pengukuran pohon yang dilakukan pada praktek lapang Silvikultur adalah sebagai berikut :
1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang dikonversi ke diameter, dengan rumus :
2. Mengukur tinggi bebas cabang (TBC) dan tinggi total pohon menggunakan Hagameter dengan jarak antara pengukur dengan pangkal pohon 15 m.
3. Menghitung luas bidang dasar pohon (LBDS) denagn menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
LBDS : Luas bidang dasar
: 3.14
d : Diameter
4. Menghitung volume tinggi total dan volume tinggi bebas cabang (TBC) dengan menggunakan rumus :
Dan
Keterangan :
VT.Tot : Volume tinggi total
T.Tot : Tinggi total
VTBC : Volume tinggi bebas cabang
LBDS : Luas bidang dasar
TBC : Tinggi bebas cabang
f : Angka bentuk (0,8)
5. Menentukan kurva kelas diameter yang terdiri dari jangkauan data (J), banyaknya interval kelas (K), panjang kelas (P) dan batas interval kelas. Adapun rumus-rumusnya adalah sebagai berikut :
6. Menghitung kerapatan individu dan kerapatan LBDS. Adapun rumus-rumusnya adalah sebagai berikut :
Dimana N adalah jumlah seluruh pohon dan n adalah jumlah plot dalam suatu area yang diukur.
7. Menghitung peninggi pohon dengan menggunakan rumus :
8. Menentukan Bonita tegakan dengan cara melihat tabel bonita.
9. Menghitung derajat kekerasan penjarangan (S%) dengan menggunakan rumus:
Dimana N adalah jumlah pohon dalam suatu area yang diukur.
10. Menghitung riap tahunan rata-rata yang terdiri dari volume rata-rata, volume total dan MAI. Adapun rumusnya dalah sebagai berikut :
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Dari hasil pengambilan data yang dilakukan di lapangan dan dari hasil pengolahan data yang terdapat pada lampiran, diperoleh data-data yaitu sebagai berikut :
Nama
|
Jumlah Pohon Jati (N)
|
Σ LBDS (m2)
|
Volume (m3)
| |
Σ Tbc
|
Σ T. Tot
| |||
Plot 1
|
53
|
1.40
|
9.56
|
15.67
|
Plot 2
|
81
|
2.13
|
8.73
|
23.19
|
Plot 3
|
55
|
1.37
|
8.38
|
17.93
|
Plot 4
|
69
|
1.44
|
7.86
|
17.96
|
Plot 5
|
74
|
1.65
|
15.18
|
25.16
|
Plot 6
|
65
|
2.02
|
7.24
|
22.51
|
Plot 7
|
77
|
1.86
|
5.29
|
16.24
|
Plot 8
|
60
|
1.79
|
7.42
|
15.83
|
Plot 9
|
81
|
2.00
|
10.95
|
22.88
|
Plot 10
|
60
|
1.42
|
8.55
|
24.50
|
Jumlah/Ha
|
675
|
17.1
|
89.16
|
201.87
|
Rata-Rata/Ha
|
1.7
|
8.916
|
20.187
|
1. Diameter Pohon, LBDS, dan Volume Tegakan
a. Diameter pohon dihitung dengan cara mengkonversi keliling pohon ke diameter, dengan rumus:
b. Luas bidang dasar atau luas penampang batang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
maka
Plot 1 = Σ Lbds plot 1
= 1.40 m2
Plot 2 = Σ Lbds plot 2
= 2.13 m2
Plot 3 = Σ Lbds plot 3
= 1.37 m2
Plot 4 = Σ Lbds plot 4
= 1.44 m2
Plot 5 = Σ Lbds plot 5
= 1.65 m2
Plot 6 = Σ Lbds plot 6
= 2.02 m2
Plot 7 = Σ Lbds plot 7
= 1.86 m2
Plot 8 = Σ Lbds plot 8
= 1.79 m2
Plot 9 = Σ Lbds plot 9
= 2.00 m2
Plot 10 = Σ Lbds plot 10
= 1.42 m2
LBDS rata-rata/plot:
LBDS Total/Ha:
c. Volume pohon dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Volume Bebas Cabang
Volume Tinggi Total
maka
Plot 1 = Σ Volume plot 1
= 9.56 m2
Plot 2 = Σ Volume plot 2
= 8.73 m2
Plot 3 = Σ volume plot 3
= 8.37 m2
Plot 4 = Σ Volume plot 4
= 7.86 m2
Plot 5 = Σ Volume plot 5
= 15.18 m2
Plot 6 = Σ Volume plot 6
= 7.24 m2
Plot 7 = Σ Volume plot 7
= 5.29 m2
Plot 8 = Σ Volume plot 8
= 7.42 m2
Plot 9 = Σ Volume plot 9
= 10.95 m2
Plot 10 = Σ Volume plot 10
= 8.56 m2
Volume rata-rata/plot:
Volume total/Ha:
2. Kurva Kelas Diameter Pohon
a. Jangkauan Data (J)
J = dmax – dmin
Untuk semua plot dari plot 1- plot 10 :
b. Banyaknya Interval Kelas (K)
c. Panjang Interval Kelas
3. Kerapatan Tegakan
a. Kerapatan Individu
b. Kerapatan LBDS
4. Kerapatan Tegakan
a. Kerapatan = N/luas area
= Kerapatan plot 1 + plot 2 + plot 3 + plot 4 + plot 5 + … + plot 10
=53+81+55+69+74+65+77+60+81+60
1 (Ha)
= 675 Pohon/Ha
b. Kerapatan = Lbds/Luas
= LBDS = (π/4)d2
= LBDS plot 1 +plot 2+plot 3+plot 4+ plot 5+plot 6+…+ plot 10
1 (Ha)
= 1.36+2.12+1.33+ 1.44+1.65+2.03+1.87+ 1.80+2.00+1.40
1 (Ha)
= 17
1(Ha)
= 17 m2/Ha
5. Kerapatan
a. Kerapatan Individu
- Plot 1 = 53 - Plot 6 = 65
- Plot 2 = 81 - Plot 7 = 77
- Plot 3 = 55 - Plot 8 = 60
- Plot 4 = 69 - Plot 9 = 81
- Plo1 5 = 74 - Plot 10 = 60
b. Kerapatan LBDS
- Plot 1 = 1.40 m2 - Plot 6 = 2.02 m2
- Plot 2 = 2.13 m2 - Plot 7 = 1.86 m2
- Plot 3 = 1.37 m2 - Plot 8 = 1.79 m2
- Plot 4 = 1.44 m2 - Plot 9 = 1.99 m2
- Plo1 5 = 1.65 m2 - Plot 10 = 1.42 m2
6. Peninggi
- Plot 1 = 152/10 = 15.2 m - Plot 6 = 179.5/10 = 17.95 m
- Plot 2 = 175/10 = 17.5 m - Plot 7 = 134/10 = 13.4 m
- Plot 3 = 208/10 = 20.8 m - Plot 8 = 150.3/10 = 15.03 m
- Plot 4 =202/10 = 20.2 m - Plot 9 = 204.5/10 = 20.45 m
- Plo1 5 =215.2/10 =21.52 m - Plot 10 = 223/10 = 22.3 m
7. Bonita
Umur tegakan jati (Tectona grandis) adala 12 tahun, maka penentuan bonitax adalah sebagai berikut :
8. S% (Derajat Kekerasan Penjarangan)
http://aldrenp.blogspot.com/