Tan Malaka : Bapak Republik,Revolusi, Merdeka 100%
Tan Malaka (Edisi Khusus Tempo)
Tan Malaka : Bapak Republik,Revolusi, Merdeka 100%
11 Agustus 2008
34 artikel menarik seputar Tan Malaka
Majalah Tempo dalam edisi khusus Kemerdekaan mengangkat profil Tan Malaka : Bapak Republik Yang Dilupakan. Tidak tanggung-tanggung edisi Tan Malaka ini terdiri dari 26artikel yang ditulis oleh wartawan Tempo dan 8 kolom/opini yang ditulis oleh pengamat/pakar dari Asvi Warman Adam hingga Ignas Kleden.
Beberapa petikan penting soal Tan Malaka, sehingga terlalu gegabah kalau kita mengabaikan edisi khusus tempo ini, mengabaikan Tan Malaka .....
”Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933)”.
“Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie.”
“Bagi Yamin-yang kemudian bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan-Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan George Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai”
"W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu," kata Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie: "Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah”
“Ia hidup dalam pelarian di 11 negara. Ia memiliki 23 nama palsu. Ia diburu polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat”.
“Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia. “
“....jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka. (testamen Soekarno)”
“Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan "masih sebatas catatan di atas kertas". Tan menulis aksi itu "uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan". Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar”.
Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit, mengatakan sumber kegagalan pemberontakan 1926 antara lain kurang persiapan dan minim koordinasi. "Tapi, selain itu, ada orang seperti Tan Malaka, yang tidak melakukan apa pun, hanya menyalahkan setelah perlawanan meletus," kata Aidit. Dia juga menyebut Tan sebagai Trotskyite, pengikut Leon Trotsky (lawan politik Stalin), "sang pemecah belah".
”Musso bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai”.
"Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah telah memberi ovasi padanya," tulis Gerard Vanter untuk harian De Tribune. "Itu merupakan suatu pujian bagi kawan-kawan kita di Hindia yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam." (Konggres Komintern ke 4)
TIM EDISI KHUSUS HARI KEMERDEKAAN
11 Agustus 2008
Penanggung Jawab: Yos Rizal Suriaji Pemimpin Proyek: Yandhrie Arvian, Philipus Parera, Kurie Suditomo Penyunting: Idrus F. Shahab, Hermien Y. Kleden, Leila S. Chudori, Arief Zulkifli, M. Taufiqurrohman, Yos Rizal Suriaji, Amarzan Loebis, Bina Bektiati, Budi Setyarso, L.R. Baskoro, Mardiyah Chamim, Putu Setia, Toriq Hadad, Yosep Suprayogi Penulis: Yandhrie Arvian, Philipus Parera, Kurie Suditomo, Yos Rizal Suriaji, Bagja Hidayat, Yandi M. Rofiyandi, Sunudyantoro, Sapto Pradityo, Adek Media Roza, Untung Widyanto, Anne L. Handayani, Muhammad Nafi, Yudono Yanuar, Asmayani Kusrini, Yosep Suprayogi, Budi Riza, Nunuy Nurhayati Reporter: Asmayani Kusrini (Belanda), Aris Andrianto (Purwokerto), Febrianti (Padang), Dwijo Maksum (Kediri), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Rina Widiastuti, Bunga Manggiasih, Yugha Erlangga (Jakarta) Penyunting Bahasa: Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho, Uu Suhardi Foto: Mazmur A. Sembiring, Bismo Agung, Nurharyanto, Novi Kartika Riset Pustaka: Hendriyanto, Endang Ishak, Indria Sari S. Desain Visual: Gilang Rahadian, Kendra H. Paramita, Kiagus Auliansyah, Danendro Adi, Fitra Moerat R., Hendy Prakasa Tata Letak: Agus Darmawan Setiadi, Aji Yuliarto, Tri W. Widodo
Dia Yang Mahir Dalm Revolusi
ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso-orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai-ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama-salah satunya Tan-apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: "...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka."
Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk "Khayal Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya."
Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan "masih sebatas catatan di atas kertas". Tan menulis aksi itu "uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan". Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. "Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan," ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.
Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. "Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak," tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, "Di depan Tuhan saya seorang muslim" (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.
Jalan Sunyi Tamu dari Bayah
IA memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein. Datang dari Bayah, Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh, B.M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Tamu jauh itu hendak menghadiri kongres pemuda di Jakarta.
Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikit basa-basi, Hussein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.
Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap: proklamasi harus segera diumumkan.
Sejarah mencatat, Hussein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya orang biasa-meski ia tak berani bertanya. "Ia heran, bagaimana mungkin orang sekaliber Hussein hidup di wilayah terpencil," kata sejarawan Belanda Harry A. Poeze.
Karni malah waswas. "Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang," kata Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba. Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke rumah Maruto Nitimihardjo di Jalan Bogor Lama-sekarang Jalan Saharjo, Jakarta Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta tamunya menginap satu malam. Hussein tidur di kamar belakang.
Pada saat rapat, analisis Hussein mempengaruhi pikiran Sukarni. Ide-ide Hussein dilontarkannya dalam rapat. "Sukarni mendesak proklamasi jangan ditunda," kata Adam Malik. Para pemuda setuju.
Sepulang rapat, Sukarni masih penasaran pada Hussein. Tapi lagi-lagi ia ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau pulang. "Ia berpesan agar Hussein mempersiapkan pemuda Banten menyongsong proklamasi," kata Anwar Bey, kini 79 tahun.
Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung, Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.
Dari pertemuan itu, Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri. "Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat," katanya dalam memoar Dari Penjara ke Penjara.
Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.
l l l
HUSSEIN kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945. Ia membawa tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus lengan panjang kumal. Kali ini yang dituju rumah B.M. Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.
Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu jam Diah memberikan informasi, Hussein menyatakan pendapatnya. "Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda," katanya.
Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung singkat. Besoknya Diah ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.
Di sana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam itu digelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken-Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya.
Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. "Kita bukan kolaborator!" katanya. "Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah." Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.
Pidato itu dilukiskan Poeze dalam buku terbarunya Verguisd en Vergeten Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. "Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami bersumpah mewujudkan proklamasi itu," kata Hussein di ujung pidatonya.
Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan jawaban tegas: "Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya."
Hussein diutus kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat mengantarnya ke stasiun Saketi, Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.
l l l
SITUASI Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas-desus berkelindan satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana. Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak kesampaian.
Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemuda bingung siapa sebenarnya Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein muncul.
Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian, Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.
Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada 14 Agustus sore. Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.
Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di kamar belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.
Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31. Menurut Khalid, Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. "Ia menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan," kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978.
Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Hussein tak lain Tan Malaka. Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak lama menunjukkan foto lama orang-orang pergerakan. "Di antaranya foto Tan Malaka waktu masih muda," kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu. Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.
Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30, tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjang jalan santer terdengar kabar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah Sukarni. Tapi usahanya sia-sia.
Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta ngotot proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia meneken proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.
Naskah itu besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno, di Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa militer Jepang melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Itu sebabnya, Tan tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai membicarakannya di jalan-jalan.
Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de Republiek Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.
Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukiskan peristiwa itu sebagai "kepedihan riwayat". Sukarni bertahun-tahun membaca buku politik Tan. Tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Hussein sesungguhnya. "Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari pandangan mata," kata Adam Malik.
Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia."
l l l
Setelah proklamasi, Tan berusaha menemui pemuda. Tapi mereka terus bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah Ahmad Soebardjo di Jalan Cikini Raya 82. Keduanya pernah bertemu di Belanda pada 1919. "Pembantu kami mengatakan ada tamu ingin berjumpa," kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.
Soebardjo kaget. "Wah, kau Tan Malaka," katanya. "Saya kira sudah mati." Tan menjawab sambil tertawa. "Alang-alang tak akan musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya." Setelah sempat bersenda-gurau, Soebardjo menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.
Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, Boentaran Martoatmojo. Ia juga dipertemukan dengan Nishijima Shigetada, Asisten Laksamana Maeda. Di depan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politik, gerakan massa, hingga propaganda.
Nishijima terheran-heran. "Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam," katanya. Setelah lebih dari dua jam berbincang, Soebardjo menjelaskan bahwa kawannya ini tak lain Tan Malaka. Nishijima terkejut. Ia bangkit lalu menjabat tangan Tan lebih erat.
Kepada tamunya, Soebardjo meminta keberadaan Tan dirahasiakan. Sepekan menetap di rumah Soebardjo, lewat perantara Nishijima, Tan pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat ke Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan kedua September, ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.
Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihat pemerintah tidak bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. "Mereka cuma kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan," kata Adam Malik. "Seperti tidak ada rencana."
Itu sebabnya, sebagian pemuda mengusulkan demonstrasi. Tapi sebagian lain ingin membentuk Palang Merah dan mengurus tawanan perang. Pemuda yang berkumpul di Jalan Prapatan 10, sekarang Jalan Kwitang, terbelah.
Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31. "Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie," kata Sukarni mengutip buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk Komite van Actie. Komite ini mengambil alih sarana transportasi dan mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.
Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo-saat itu sudah Menteri Luar Negeri-meminta nasihat Tan yang lalu mengusulkan agar propaganda dilakukan lewat semboyan-semboyan. "Tan ikut mengusulkan kata-katanya," kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto. Semboyan itu ditulis pemuda di tembok-tembok, mobil, dan kereta api hingga tersebar ke luar Jakarta, dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian dunia.
Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik. Isinya: "Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro."
Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya di Menteng 31. Tan saat itu tinggal di rumah Pak Karim, tukang jahit di Bogor. Sukarni dan Adam Malik mencarinya ke sana. Mereka berhasil bertemu, tapi ragu identitas Tan. "Apalagi saat itu banyak muncul Tan Malaka palsu," kata Hadidjojo.
Untuk memastikan, para pemuda membawa Soediro-kenalan Tan di Semarang pada 1922-beberapa hari kemudian. Sesudah itu mereka membawa guru Halim, teman sekolah Tan di Bukittinggi. Tan juga dicecar soal Massa Actie karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi buku tersebut.
Maruto bahkan menyarankan agar pemuda tidak begitu saja mempercayai Tan. Ia rupanya mendengar Tan sudah bertemu Soekarno. Tapi setelah mendengar kata-kata Tan, kaum pemuda yakin tokoh legendaris itu anti-fasis.
Tan juga sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. "Ia mengusulkan demonstrasi yang lebih besar," kata Hadidjojo. Demonstrasi digelar untuk mengukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut pemuda menggelar rapat akbar di Lapangan Ikada. "Tan berada di balik layar," kata Poeze.
Pemuda mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner. Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung antara 8 dan 15 September 1945. Sekelompok pemuda, antara lain Abidin Effendi, Hamzah Tuppu, Pandu Kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan. Sukarni lalu mengirim Hamzah, Syamsu, dan Abidin ke Surabaya untuk mengorganisasi para pelaut.
Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan demonstrasi pada 17 September-tepat sebulan setelah proklamasi. Tapi unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena para pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya. "Bung Karno marah karena pemuda menggelar pawai di taman Matraman pakai obor dua hari setelah proklamasi," kata Hadidjojo mengutip Maruto, ayahnya.
Pamflet aksi disebar dan ditempel di mana-mana. Sukarni keluar-masuk kampung, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai, agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga. Tapi presiden pertama itu menolak.
Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong datang. Senapan mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus berdatangan. Jumlahnya diperkiran 200 ribu. Di bawah terik, mereka menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananta Toer. "Itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut lagi pada Dai Nippon," kata Pram, saat itu berusia 20.
Sementara sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagian menteri setuju hadir di Ikada. Sedangkan yang menolak takut ada pertumpahan darah. Rapat berjalan alot. Pukul empat sore, Soekarno memutuskan datang menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. "Saya tidak akan memaksa. Menteri yang mau tinggal di rumah silakan," katanya.
Rombongan Soekarno-Hatta pergi menuju Ikada. Poeze menduga, Tan Malaka ikut dalam rombongan. "Ia satu-satunya yang memakai topi, jalan berdampingan dengan Soekarno menuju podium," kata Poeze.
Di mimbar Soekarno berpidato lima menit. Suaranya lunak. Ia meminta rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu, barisan bubar meninggalkan lapangan.
Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak menggemborkan semangat berjuang. "Tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."
Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desas-desus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya, menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang. Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah Soeharto-sekarang Apotek Titimurni-di Jalan Kramat Raya.
Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa "Abdulradjak" ke kamar belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto menunggu di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.
Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa Actie-buku yang ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib revolusi Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi pembicaraan, sementara Soekarno lebih banyak diam. "Tan lebih berpengalaman dalam perjuangan," kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan tentang revolusi, kata Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.
Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung Karno. Tan mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.
Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata, "Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap Saudara yang melanjutkan." Sebelum menutup pertemuan, ia memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan Pelopor di masa pendudukan Jepang.
Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan. "Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan," katanya.
l l l
NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah Tan Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat. Juga ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena dianggap berkolaborasi dengan Jepang.
Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad Soebardjo. Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung. Pada 30 September, mereka sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.
Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: "Kenapa tidak bicara dulu kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka."
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam.
Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.
l l l
TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo-salah seorang aktivis Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini Gedung Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta- amplop yang dibawa Tan tak hanya berisi wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satu paket.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah-belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia-Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap Sekutu.
Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. "Malam itu saya sempat memijatnya," kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir itu kemudian membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang dikawalnya adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan. "Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak," kata Hadidjojo.
Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan-kumpulan 141 organisasi politik-Tan menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.
Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang itu. Ia mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka "diamankan" sebelum delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yamin belakangan terbukti. Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin mengatakan Tan dan kelompoknya ditangkap karena sering melancarkan agitasi yang mengacaukan perundingan.
Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal.
Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi testamen asli dan naskah proklamasi lewat kurir. "Amplop itu diterima ayah saya," kata Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta.
Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.
Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah proklamasi kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.
Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari 1949.
Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei 1972, polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik Tan Malaka merebut kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak pendapat Kahin. Menurut dia, pertemuan dan pembuatan testamen atas prakarsa Soekarno.
Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.-atas hasil wawancara dengan Hatta-menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju. Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya, dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.
Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda setelah S.K. Trimurti-istri Sayuti-menulis surat pembaca di harian Sinar Harapan, akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya Udaya menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu mengaku menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.
Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan, Trimurti menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu mengatur pertemuan.
Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara, Trimurti menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya, Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. "Setelah itu kami pulang dengan perasaan lega," kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di tengah bara api.
Si Mata Nyalang di Balai Societeit
PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala. Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.
Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa. "Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang," ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengah-tengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api. Mereka yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di Stasiun Raya, kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah dengan sukarela menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau gula merah. Tak hanya untuk konsumsi rapat, barang-barang yang terkumpul dijual untuk keperluan lain.
Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan rakyat jelata. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat, karena itu Tan memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.
Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet Gandhiwijaya. Tokoh Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar. Dari Slamet pula Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. "Slamet menjual sawah untuk biaya kongres," kata Nirwan, yang menjadi Ketua Agitasi dan Propaganda setelah Tan mendeklarasikan Partai Murba pada November 1948.
Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri menentang Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek pembangunan, seperti jalan dan waduk. Belum semua proyek rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia Timur, termasuk Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan politik.
Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan kereta api Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Serajoedal Staatspoor, mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun Raya Purwokerto-Gombong yang melalui Kedungrandu. Jalur ini melintas di dekat aliran Sungai Serayu. Tapi pada 1936, dua perusahaan itu bangkrut.
Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda di Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-kanan rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukit-bukit hijau. Rumah Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon petai cina. Di belakang rumah mengalir Kali Pematusan, sekaligus pembatas rumah dengan sawah. "Dulu saya suka memetik klandingan (petai cina) di situ," ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.
Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan, termasuk Darmuji, umumnya takut bertamu. "Saya dan Den Slamet kan beda," katanya.
Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan istrinya, Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin diambil dari bahasa Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua. Perintis Gunawan, 49 tahun, anak Slamet yang kini tinggal di Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.
Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera bersembunyi di perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. "Kalau Tan lari ke selatan, ibu saya bilang larinya ke utara," kata Perintis. Rumah Slamet dijaga Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan. Di sini ada ikan yang dinamai Yopi. "Jika tangan Tan menaburkan pakan, Yopi langsung menyaut," kata Perintis, mengingat kisah dari ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November tahun lalu.
Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa Patikraja. Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi Belanda II pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah milik sendiri, satu kilometer dari rumah lama. Slamet mengembalikan rumah lama kepada negara. Sejak itu rumah tidak dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol. Kini, di atasnya berdiri bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini bertahan.
Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini menekuni industri rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia meninggal 4 September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. Kini, meja dan kursi tempat Tan berdiskusi dengan Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu jati bulat telur itu semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.
Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto itu sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio Republik Indonesia di Jalan Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng Wijono, 70 tahun, ahli sejarah ekonomi Purwokerto, gedung itu beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda bernama Societeit. Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah Republik berdiri, disebut Balai Prajurit. "Tapi orang-orang tua lebih suka menyebutnya Societeit," kata Soegeng.
Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari rumah Slamet menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak peserta kongres belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam bukunya, menggambarkan peserta rapat terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium.
Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang sekali koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.
Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. "Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan," katanya.
Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: "Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen." Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Dibuka pukul 10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet. Tapi, yang datang hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Soedirman. Sultan Yogya dan Susuhunan Solo mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia lalu dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba bernama Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Adabiyah Padang, juga orang Pari-Partai Republik Indonesia. Anwar kelak menjadi wartawan Antara dan Sekretaris Wakil Presiden Adam Malik. Mereka diutus pemuda Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan mereka tak banyak bicara karena diawasi sipir pendukung Hatta. "Tan hanya bilang teruskan perjuangan," kata Anwar.
Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang, Jawa Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara meninggalkan Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Tapi, karena banyak wakil berada di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari pelbagai daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya Tan bertemu dengan wakil organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946 di Demakijo, Godean, Yogyakarta. Mereka sepakat bertemu di Purwokerto.
Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar. Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.
Gerilya Dua Sekawan
SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di rumah besar di dekat stasiun Kedungrandu, 10 kilometer dari Purwokerto, Jawa Tengah. Tan Malaka kerap datang sembunyi-sembunyi ke rumah itu. Di sana, dia kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.
Beberapa kali sepanjang tahun 1946, Tan datang khusus untuk menemui Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, Jenderal Sudirman. Perintis Gunawan, putra bungsu Slamet-kini 49 tahun-mendapat cerita pertemuan kedua tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu mencari Herman, sepupu Perintis. Sang Jenderal lalu menimang-nimang bocah itu sebelum masuk ke ruang makan. Di situ ia bertemu dengan Tan. "Ibu langsung disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan," kata Perintis.
Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang banyak menulis buku tentang Tan, mengatakan kedua tokoh itu berhubungan dekat. Mereka bertemu pertama kali dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946. "Mereka mempunyai persamaan pendapat dan ideologi," katanya.
Adam Malik, dalam buku Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, bahkan menyebut Tan dan Soedirman sebagai "dwitunggal". Ia menyamakan hubungan kedua tokoh dengan relasi Soekarno-Hatta serta Sutan Syahrir-Amir Syarifuddin. Adam menilai Tan dan Soedirman memiliki urat dan akar di kalangan pemuda radikal, anggota pasukan Pembela Tanah Air, dan bekas romusha. "Di bawah pimpinan Tan dan Sudirman, para pemuda itu menyerang pos dan kubu pertahanan Jepang," Adam menulis.
Keduanya juga diikat kesamaan sikap: menentang jalan diplomasi pemerintahan Sutan Syahrir. Bagi mereka, "kemerdekaan harus seratus persen" dan "berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen".
Jalan oposisi Tan berbuah penjara. Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan penangkapannya. Pada 17 Maret 1946 beserta beberapa pemimpin Persatuan Pergerakan, dia diringkus di Madiun, Jawa Timur. Tan dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dua belas pemimpin Barisan Banteng ditangkap dua bulan kemudian.
Soedirman tidak tinggal diam. Ia memerintahkan Panglima Divisi III Mayor Jenderal Sudarsono membebaskan semua tahanan pada 3 Juli 1946. Dengan perintah ini, Sudarsono dan pasukannya menyerbu penjara Wirogunan. Aksi ini membuat marah Presiden Soekarno. Ia memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, penanggung jawab keamanan Yogyakarta-kelak menjadi presiden-agar menangkap Sudarsono.
Setelah peristiwa ini, hubungan Tan dan Soedirman merenggang. Soedirman menganggap koleganya terlalu jauh menekan Soekarno. Menurut Harry Poeze, Soedirman juga tidak setuju dengan langkah Tan membantu laskar rakyat yang secara politik bertentangan dengan tentara.
Adam Malik menulis, Presiden Soekarno berhasil meyakinkan Jenderal Soedirman untuk meninggalkan Tan. Sebagai balasan, ia mendukung penuh semua keputusan Sudirman sebagai panglima besar tentara. Sejarah mencatat, Tan dan Soedirman kembali ke jalan gerilya setelah Agresi Militer Belanda II pada 1948.
Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, dan para pejabat pemerintah. Mereka diasingkan ke Bangka. Sudirman lolos dari sergapan Belanda dan masuk hutan. Ia bergerilya di Jawa Tengah.
Tan berangkat ke Kediri dengan kereta api khusus, dikawal 50 orang. Ia bergabung dengan satu brigade Divisi IV Tentara Nasional Indonesia pimpinan Sabarudin di Blitar, Jawa Timur. Di markas pertahanan Desa Belimbing, Kediri, ia mendirikan Gabungan Pembela Proklamasi yang kemudian menjadi Gerilya Pembela Proklamasi.
Ia banyak menulis pamflet yang dia beri nama "Dari Markas Murba Terpendam". Lewat RRI Kediri, Tan menyerukan rakyat terus bergerilya melawan Belanda seperti Soedirman.
Kerani Yang Baik Hati
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal usianya. Parino, dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo pada Februari 1917. Sedangkan data Romusha Kecamatan Bayah mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.
Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah, Banten Selatan-sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang batu bara. Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang diingatnya, "Saya belum menikah, tapi sudah disunat," ujarnya sambil tertawa.
Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Parino. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.
Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. "Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar," kata Parino.
Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah-sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.
Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah membutuhkan 30 pekerja-bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.
Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mendapat cerita tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi, kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang dalam satu meter rel.
Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo-bersama penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze-menelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.
Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.
Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.
Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.
Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. "Kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang," kata Tan suatu ketika.
Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.
Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.
Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. "Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor," ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.
Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.
Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga Peta-organisasi sosial yang membantu tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.
Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah-kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.
Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.
Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus "Pangreh Praja".
Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan-sebagai Hussein-didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.
Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.
Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.
Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein. Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.
Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.
Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.
Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an. "Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang," kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang....
Naskah Dari Rawajati
DI DESA Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta, ia menyewa gubuk bambu. Pada sepetak ruang sekitar 15 meter persegi di rumah itulah, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dari pukul enam pagi hingga pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.
Kelak buah pikiran itu mewujud dalam sebuah buku termasyhur: Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan menulis Madilog sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen-sekarang Museum Nasional- untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum yang kini terletak di seberang Monumen Nasional itu ia sering berjalan kaki-kadang butuh waktu empat jam.
Bila hendak ke sana, Tan bangun pukul setengah lima subuh. Tiba di museum sekitar pukul sembilan, ia biasanya tak lebih dari satu jam di perpustakaan. Setelah sebentar mempelajari keadaan di kota, "Sorenya kembali jalan kaki menuju sarang saya di Kalibata," tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara II.
Sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, mengatakan Madilog merupakan bentuk pikiran yang telah mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.
Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama seluruhnya ditulis berdasarkan ingatannya. Selanjutnya, Tan menggunakan rujukan dari perpustakaan di museum yang dikunjunginya. "Tan ingin mengelakkan kesan bahwa Madilog sepenuhnya buah pikirannya sendiri," kata Poeze.
Istilah Madilog merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945, mengatakan inti Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis. "Tulisan itu merupakan karya orisinal Tan," ujar Poeze.
Selama menulis Madilog, Tan selalu berdiskusi dengan sejumlah pemuda. Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan Jepang. Karena aktivitasnya inilah, Asisten Wedana Pasar Minggu pernah datang dan menggeledah gubuknya.
Karena tak menemukan sesuatu, Asisten Wedana itu kemudian meminta maaf kepada Tan. Sang pejabat tak tahu Tan telah menyembunyikan kertas-kertasnya di kandang ayam.
Tan Malaka membawa naskah Madilog ke Bayah, Banten Selatan. Madilog juga dibawanya bertualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan baru memperkenalkan Madilog tiga tahun setelah kemunculannya.
Ia menulis, "Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya."
Bolsyewik yang Terbuang
Palu Arit, Bintang Bulan, dan Tan
Tan Malaka adalah tokoh kontroversial dalam Partai Komunis. Mendukung aliansi dengan Islam, ia sering tak sepaham dengan teman seperjuangan.
SEMARANG, 25 Desember 1921. Malam semakin larut, namun suhu dalam Kongres II Partai Komunis Indonesia malah memanas. Selain udara pengap oleh 1.500 orang peserta, hawa dalam ruangan juga tambah panas akibat pidato Abdul Muis, anggota Central Sarekat Islam. Dia mengungkit silat kata antara Partai Komunis dan beberapa tokoh Sarekat tentang Pan-Islam, beberapa bulan sebelumnya. Muis juga mengungkap lagi kritik Komunis Internasional terhadap gerakan Pan-Islam yang didukung sebagian anggota Sarekat.
Padahal, beberapa menit sebelumnya, Ibrahim Datuk Tan Malaka, telah mengingatkan perlunya persatuan antara Partai Komunis dan Sarekat Islam. Menurut Tan, yang baru terpilih sebagai Ketua Partai Komunis, kedua partai semestinya bersatu karena tujuannya sama: mengusir imperialis Belanda.
Di mata Tan, silang pendapat kedua partai hanyalah bagian dari politik pecah belah imperialis. "Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia," katanya. Pendapat Tan ini didukung Kiai Haji Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah di Sarekat Islam. Menurut Hadikusumo, mereka yang memecah-belah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati.
l l l
Ketika mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging alias Perhimpunan Sosial Demokrasi di Hindia pada 9 Mei 1914, semula Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet tidak ingin terlibat politik. Dia ingin sekadar mempropagandakan sosialisme. Namun, ketika Perhimpunan yang mayoritas anggotanya orang Belanda di Hindia makin terlibat dalam politik lokal, kebutuhan melebarkan pengaruh pun makin besar.
Usaha pertamanya menggalang kerja sama dengan Insulinde bubar dalam setahun. Sneevliet, yang semula begitu terpesona dengan karisma Dr Tjipto Mangunkusumo, pemimpin Insulinde, gagal menyeret Tjipto ke "kiri". Belakangan, Sneevliet bahkan mengkritik Tjipto. "Dia kurang memihak kelas proletar," katanya.
Pada saat hubungan dengan Insulinde putus, sebenarnya Perhimpunan sudah mulai melirik Sarekat Islam. Jalur masuk ke Sarekat ini terbuka lewat Suharsikin, istri pemimpin Sarekat, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Suharsikinlah pengelola rumah indekos yang ditempati Alimin, Musso, Soekarno, dan juga S.M. Kartosuwirjo di Surabaya. Selain tempat mondok, rumah Tjokroaminoto juga kantor pusat Sarekat. Sneevliet, Adolf Baars, dan anggota Perhimpunan seperti Semaun dan Darsono, acap terlibat diskusi rutin di rumah itu.
Penyusupan pengaruh Perhimpunan lebih mulus karena beberapa anggotanya seperti Semaun, Alimin, dan Darsono juga merangkap anggota Sarekat. Semaun, misalnya-aktivis buruh kereta api-sudah masuk ke Sarekat sejak 1914 dan sempat menjabat sebagai sekretaris cabang Surabaya.
Semangat merengkuh kelompok Islam ke dalam barisan komunis sebenarnya juga dilakukan Partai Komunis Rusia. Pada Februari 1918, tiga bulan setelah Revolusi Bolshevik, Partai Komunis Rusia membentuk komisariat khusus organisasi Islam sebagai corong propaganda ke negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Namun aliansi tak bisa mulus. Karena Pemimpin Partai Komunis Rusia, Vladimir Ilyich Lenin, tetap menjaga jarak dengan kekuatan Islam. "Tidak boleh melebur, tapi tetap menjaga independensi karakter gerakan proletar," kata Lenin. Hingga pada Kongres II Komunis International pada Juli 1920, kedua kekuatan pecah, karena Komunis menilai Pan-Islam hanya memperkuat posisi para mullah.
Sikap Komunis Internasional ini mempersulit usaha Perhimpunan-yang kemudian bersalin nama menjadi Partai Komunis Indonesia setelah bergabung dengan Komunis Internasional-merebut pengaruh dalam Sarekat Islam. Hubungan Partai Komunis Indonesia dengan Sarekat kian buruk setelah Darsono dan Baars menyerang kepemimpinan Tjokroaminoto. Itu ditambah propaganda kelompok anti-Partai Komunis dalam Sarekat yang dimotori duo Agus Salim-Haji Fachrudin.
Adalah Tan Malaka yang terus berusaha merangkul kembali Sarekat Islam. Dia bahkan mengkritik Darsono dan Baars yang dianggapnya telah menjauhkan komunis dan Islam. Untuk merebut hati kaum muslim, Partai Komunis juga mendukung perbaikan peraturan ibadah haji.
Ketika pemimpin Muhammadiyah mengundang Tan berpidato tentang komunisme, dengan penuh semangat dia menyanggupi. Sayangnya, Tan keburu ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Hanya tiga bulan menjabat Ketua Partai Komunis, pada 29 Maret 1922, dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Tan kembali meninggalkan Indonesia menuju Belanda.
Kendati sudah jauh dari Indonesia, Tan tetap mengkampanyekan aliansi komunis-Islam. Dalam Kongres IV Komunis Internasional di Petrograd, Rusia, pada November 1922, Tan meminta mereka meralat sikap atas Pan-Islam. Menurut Tan, Pan-Islam merupakan perjuangan seluruh bangsa muslim merebut kemerdekaan. "Jadi bukan hanya perjuangan kemerdekaan terhadap kapitalisme Belanda, tapi juga Inggris, Prancis, dan kapitalisme di seluruh dunia," katanya dalam bahasa Jerman. Aplaus panjang menyambut Tan pada saat turun panggung.
Sayang, usaha Tan gagal. Perpecahan tak dapat dicegah. Kelompok Islam di Sarekat memaksa "orang-orang kiri" keluar dari partai. Kelompok pecahan ini kemudian menjadi Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan Partai Komunis.
l l l
Di Partai Komunis, popularitas dan pengaruh Tan cepat melesat. Kurang dari setahun sejak dia diperkenalkan Sutopo, aktivis Budi Utomo, dengan Semaun dan Tjokroaminoto dalam Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta, Tan sudah menduduki posisi puncak Partai Komunis.
Terusir dari Indonesia pun tak membuatnya kehilangan posisi. Pada Januari 1923, Komunis Internasional memilih Tan sebagai pengawas untuk Indonesia, Malaya, Filipina, Thailand, Burma, dan Vietnam. Namun, ada saja yang tak setuju.
Salah satunya Pieter Bergsma, pengurus Partai Komunis Indonesia. Dalam suratnya kepada Semaun, Bergsma menyatakan telah berusaha mencegah penunjukan Jep-panggilan Tan. Baik Bergsma maupun Semaun berpendapat, Tan terlalu cepat mendapat posisi setinggi itu. Begitu juga dengan Alimin dan Musso. Menurut Alimin, Komite Eksekutif Komunis Internasional tak pernah memberikan mandat veto kepada Tan. "Orang yang benar-benar jujur dan paham cara kerja seorang propagandis bukan orang yang suka mengklaim dirinya penting dan punya kekuasaan," Alimin mengkritik Tan.
l l l
Sejak awal, perencanaan aksi pemberontakan terhadap penjajah Belanda itu berantakan. Keputusan tidak dibuat dengan solid. Menurut Djamaluddin Tamin, rapat di Prambanan, Jawa Tengah, pada 25 Desember 1925-lah yang memutuskan aksi itu. Yang hadir sebelas kamerad, termasuk Alimin dan Musso. Namun Alimin membantah ikut rapat perencanaan pemberontakan tersebut-dia mengatakan tahu rencana itu belakangan. Sedangkan para pemimpin utama Partai, seperti Semaun, Tan, Musso, Darsono, dan Ali Archam, ada di pengasingan atau di bui.
Selain itu, dana cekak. Uang untuk membayar ongkos perjalanan kader partai sering tak ada. Alat propaganda partai seperti koran Api pun terancam semaput.
Tatkala partai "kurang darah", massa pendukung justru kian hilang sabar, ingin aksi secepatnya. Perintah Partai pada 5 Agustus-empat bulan sebelum rapat Prambanan-untuk menunda pemogokan tidak digubris. Serikat buruh di tiga kota, Surabaya, Medan, dan Batavia, tetap mogok, dan akhirnya "patah" dengan cepat.
Padahal, rencananya, pemogokan dilakukan bertahap. Surabaya menjadi titik awal pemberontakan. Tapi, akibat kekalahan di tiga kota itu, mereka tak lagi punya banyak pilihan, melawan atau ditumpas. "Kami percaya, akan lebih terhormat mati dalam perlawanan daripada mati tanpa pernah melawan," ujar Darsono. Maka rapat Prambanan pun memutuskan pemberontakan.
Untuk mengatasi kekurangan dana, Alimin, yang ketika itu ada di Singapura, diutus ke Moskow. Selain berharap restu Komunis Internasional, mereka juga butuh duit, pasokan senjata, dan kalau perlu tentara. Sebelum ke Moskow, mereka ingin memastikan dukungan Semaun dan Tan, dua wakil partai di Komunis Internasional, terhadap rencana Prambanan.
Semaun, yang berkantor di Amsterdam, Belanda, menolak undangan ke Singapura. Alimin pun berangkat menemui Tan di Filipina pada Januari 1926. Seperti dia perkirakan, Tan menolak rencana Prambanan. "Sikapnya begitu dingin. Dia juga merasa dilangkahi," kata Alimin. Sebagai tanggapan, Tan menulis Massa Actie. Dia beralasan, untuk tujuan kecil, Partai Komunis sudah punya cukup kekuatan. "Akan tetapi, untuk mengadakan satu aksi nasional umum, mereka betul-betul belum kuasa."
Menurut Tan, apa yang dilakukan Partai Komunis baru sebatas putch, gerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat. Kata Tan, "Membuat putch di negeri seperti Indonesia (terutama di Jawa), di tempat kapital dipusatkan dengan rapi dan dilindungi militer serta mata-mata modern-sebaliknya, rakyat masih mempercayai yang gaib, takhayul, dan dongeng-samalah artinya dengan "bermain api": tangan sendiri yang akan hangus."
Tapi Alimin tidak menjelaskan sikap Tan itu kepada beberapa kamerad lain yang berkumpul di Singapura. Dia hanya mengatakan Tan terlalu sakit untuk berdiskusi dan menolak mendukung rencana Prambanan. Dia juga mengatakan, Tan menyuruh mereka berangkat sendiri ke Moskow. Musso dan Alimin, dua pendukung utama rencana Prambanan, memutuskan pemberontakan jalan terus.
Di Manila, Tan mulai tak sabar menunggu kabar dari Alimin. Ternyata, Tanlah yang meminta Alimin mengumpulkan seluruh pimpinan Partai Komunis di Singapura. "Saya tidak berniat melarang pemberontakan, tapi cuma mau menyampaikan pendapat dan kritik," ujar Tan, beberapa bulan setelah pemberontakan.
Tak kunjung ada kabar, Tan menyusul ke Singapura, tapi di sana hanya bertemu Subakat, salah satu agen partai. Alimin dan Musso sudah berangkat ke Moskow. Merasa ditelikung, Tan didukung Subakat dan Suprodjo, salah satu pimpinan partai, mengirim surat ke seluruh pimpinan partai soal sikapnya.
Partai Komunis pun terbelah, sebagian di belakang Tan, yang lain tetap mendukung rencana Prambanan. Komunis Internasional yang semula diandalkan pun lepas tangan. Joseph Stalin, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, menolak mendukung pemberontakan yang tak terorganisasi dan hampir pasti bakal gagal.
Secara sporadis, pemogokan diikuti sabotase dan perlawanan bersenjata tetap terjadi di Batavia, Tangerang, daerah Priangan, Solo, Pekalongan, dan berakhir di Silungkang, Sumatera Barat. Dimulai pada 12 November 1926 tengah malam dan padam pada 12 Januari 1927. Alimin melempar kesalahan kepada Komunis Internasional.
Sejak itu, Tan Malaka berpisah dengan Partai Komunis. Bersama Subakat dan Djamaluddin Tamin, dia medirikan Partai Republik Indonesia pada Juni 1927 di Bangkok, Thailand. Tan memang sempat bertemu Alimin pada 1931 dan keduanya membicarakan pemulihan kerja sama, tapi gagal.
Tiga puluh tahun kemudian, Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit, mengatakan sumber kegagalan pemberontakan 1926 antara lain kurang persiapan dan minim koordinasi. "Tapi, selain itu, ada orang seperti Tan Malaka, yang tidak melakukan apa pun, hanya menyalahkan setelah perlawanan meletus," kata Aidit. Dia juga menyebut Tan sebagai Trotskyite, pengikut Leon Trotsky (lawan politik Stalin), "sang pemecah belah".
Peniup Suling bagi Anak Kuli
RAPAT para tuan besar perkebunan yang berada di wilayah perusahaan Senembah Mij baru saja dimulai. Tan Malaka mengamati belasan peserta yang hadir. Dari yang hadir itu, ia hanya kenal dua orang. Salah satunya Herr Graf, tuan besar di Tanjung Morawa, Sumatera Timur.
Tan menatap Graf, yang disebutnya sebagai musuh nomor satunya di Deli. Graf langsung menoleh ke arah lain. Selama rapat, kedua orang ini kerap beradu pandang. Tapi, begitu mata mereka bertemu, Graf dengan segera memalingkan mukanya. Demikian seterusnya.
Tan Malaka tahu, Graf-lah yang menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan dirinya. Pada saat pemimpin rapat memberikan kesempatan berbicara kepadanya, Tan tak menyia-nyiakan kesempatan. Tan, yang sudah dua tahun menjadi asisten pengawas sekolah di Deli, memaparkan pentingnya pendidikan bagi para anak kuli. Menurut dia, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.
"Anak kuli adalah anak manusia juga," kata Tan Malaka. Dia sengaja mengeluarkan kalimat itu karena banyak tuan besar, pemilik atau pengawas perkebunan, menganggap sekolah bagi anak kuli cuma membuang-buang uang. Sekolah, di benak para tuan besar itu, bakal membuat anak kuli itu lebih "brutal" ketimbang bapaknya. Ada kekhawatiran lain. Pendidikan ini bisa menciptakan kader-kader baru Sarekat Islam, organisasi yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda.
Beberapa hari setelah rapat pada Juni 1921 itu, Tan bertemu Dr Janssen, direktur sekolahnya. Tan mengajukan permintaan pengunduran diri. Dia merasa komplotan tuan perkebunan tembakau yang dipimpin Graf sudah sangat mengganggu kerjanya. Tan Malaka mengakui ada empat perkara perbedaan dirinya dengan para petinggi perkebunan yang membuat ia menentukan sikap itu. Pertama, soal warna kulit; kedua, model pendidikan bagi anak kuli; ketiga, menyangkut artikel-artikelnya di surat kabar di Deli; serta keempat menyangkut hubungannya dengan para kuli perkebunan.
Tan melihat sumber semua perbedaan itu dari kacamata Marxisme, yakni konflik antara kaum kapitalis dan proletar. Dia menyebutnya sebagai pertentangan antara "Belanda-Kapitalis-Penjajah" dan "Indonesia-Kuli-Jajahan". Janssen tidak mencegah keinginan Tan untuk mundur, karena dia juga akan kembali ke Nederland. Dia meminta kantor membayar gaji Tan Malaka untuk dua bulan dan menyediakan karcis kapal laut kelas satu ke Jawa.
Awalnya, Janssen-lah yang meminta Tan Malaka membantu Tuan W untuk menjadi pengawas sekolah di Deli. Tan, yang kala itu sedang menempuh sekolah guru di Belanda, tertarik dengan tawaran kerja itu.
Deli adalah kota besar dengan penduduk sekitar dua juta. Namun ada yang menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Deli merupakan keluarga kuli kontrak perkebunan, pertambangan minyak, dan pengangkutan. "Mereka keluarga proletaris tulen, dan Deli merupakan daerah proletaria yang sesungguhnya," kata Tan Malaka dalam catatan hariannya. Kelas atas di Deli, menurut Tan, adalah borjuis asing dari Eropa-Amerika, disusul dari Tionghoa. Adapun borjuis Indonesia adalah Sultan Serdang dan Sultan Deli.
Selama di Deli, Tan sering berbincang-bincang dengan siswanya dan mengunjungi rumah mereka. Ini berbeda dengan Tuan W, yang cuma datang ke sekolah naik mobil dinasnya. Tan ingin mengetahui tabiat, kemauan, dan kecondongan hati masing-masing anak. Dari semua informasi yang diperolehnya, ujar Tan, diperlukan satu pusat sebagai sekolah percontohan.
Selain mengurus pendidikan, Tan Malaka juga menampung keluh-kesah para kuli kontrak. Para kuli itu umumnya buta huruf dan terjerat berbagai peraturan kontrak yang tak bisa dipahami. Tan melihat para kuli itu terbelenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus "hawa nafsu jahat" permainan judi. Kisah kuli kontrak ini mewarnai artikel Tan Malaka yang tersebar di surat kabar Liberal, Medan, dan Sumatera Post, yang kerap membuat marah para tuan besar.
Pengalamannya bergaul dengan kaum proletar ini makin memantapkan Tan bergerak di sektor pendidikan. Menurut dia, "Kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan." Ini semua, kata Tan, untuk menghadapi kekuasaan pemilik modal yang berdiri atas pendidikan yang berdasarkan kemodalan.
Pada 2 hingga 6 Maret 1921, Tan Malaka mengikuti Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta. Di sinilah ia pertama kalinya bertemu HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun, dan tokoh-tokoh lain organisasi Islam tersebut. Kala itu organisasi ini sedang dilanda perpecahan, antara faksi Islam dan komunisme. Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono lebih berkiblat ke komunisme.
Seusai kongres, Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang. "Kehadirannya menguntungkan bagi gerakan rakyat revolusioner di Indonesia," ujar Semaun dalam buku Sewindu Hilangnya Tan Malaka. Saat itu keduanya sepakat membangun sekolah rakyat bagi calon pemimpin revolusioner. Sarekat Islam memberikan gedung dan fasilitas pendidikan lainnya. Tan Malaka berjanji mendirikan perguruan yang cocok bagi kebutuhan dan jiwa "rakyat Murba", sebutan Tan untuk kaum proletar.
Dalam brosur bertajuk "SI Semarang dan Onderwijs", Tan Malaka menguraikan dasar dan tujuan pendidikan kerakyatan. Pertama, perlunya pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan seperti berhitung, menulis, ilmu bumi, dan bahasa. Hal ini sebagai bekal dalam menghadapi kaum pemilik modal. Kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi dan berdemokrasi. Ini untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri, dan cinta kepada rakyat miskin. Dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.
Tan Malaka menegaskan, sekolahnya bukan mencetak juru tulis seperti tujuan sekolah pemerintah. Selain untuk mencari nafkah diri dan keluarga, sekolah ini juga membantu rakyat dalam pergerakannya.
Menurut Harry A. Poeze, inspirasi mendirikan sekolah rakyat ini berasal dari Belanda dan Rusia. Tan Malaka, katanya, sempat membaca tulisan warga Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Inspirasi lainnya, kata Poeze, dari pengalaman Tan ketika bertugas di perkebunan tembakau Deli. "Pengetahuan yang ia dapat disesuaikan dengan keadaan di Indonesia," kata Poeze.
Hari pertama pembukaan "sekolah Tan", ada lima puluh siswa datang mendaftar. Sekolah ini kemudian menggelar upacara penerimaan siswa baru yang dihadiri orang tua dan pengurus Sarekat Islam Semarang. Dua anak berusia 14 tahun tampil ke depan mengucapkan janji murid dan meminta dukungan orang tua. Para siswa yang bercelana merah kemudian melakukan defile sembari menyanyikan lagu internasional.
Penonton bertepuk tangan menyaksikan upacara ini. Banyak yang menitikkan air mata karena acara ini baru pertama kali dilakukan di lingkungan Sarekat Islam. "Mereka gembira, karena merasa mendapat bakal pahlawan," kata Tan. Siswa baru terus berdatangan, hingga terkumpul 200 orang. Puluhan orang juga melamar jadi guru.
Sekolah berjalan pagi. Sore harinya Tan Malaka mengadakan kursus untuk mencetak guru. Peserta kursus adalah murid kelas 5 dan guru yang ada untuk dididik menjadi guru berhaluan kerakyatan. Kabar berdirinya sekolah rakyat di Semarang segera menyebar ke sejumlah daerah. Beberapa kota besar di Jawa mengajukan tawaran mendirikan sekolah sejenis di daerahnya.
Bandung akhirnya menjadi daerah kedua yang mendirikan sekolah rakyat, setelah seorang kader Sarekat Islam mendermakan uangnya. Di Kota Kembang itu 300 siswa baru mendaftar. Tahun-tahun berikutnya sekolah rakyat semakin banyak. Apalagi setelah alumni sekolah rakyat Semarang bertebaran di kota-kota besar Jawa. Menurut Tan, para murid, dengan celana merah dan lagu internasionalnya, laksana ahli peniup suling Kota Hermelin. Inilah dongeng yang mengisahkan seorang peniup suling yang mampu menyihir hewan dan anak-anak dengan serulingnya, sehingga mereka terus mengikuti sang peniup seruling.
Encyclopaedie van ned oostindie VI suplement menulis, sekolah rakyat model Tan Malaka ini lantas bermunculan. "Di antara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan sistem Komintern." Ensiklopedia ini juga mencatat adanya kursus kilat membentuk propagandis yang aktif, yang kemudian menjadi kader organisasi.
Sayang, Tan Malaka tidak menyaksikan kemajuan sekolah rakyat yang dibangunnya. Pada 2 Maret 1922, pemerintah kolonial Belanda menangkapnya di Bandung setelah terjadi pemogokan buruh pelabuhan dan minyak. Para buruh tersebut tergabung dalam Vaksentral-Revolusioner, tempat Tan menjadi wakil ketua. Pencipta "sang peniup suling" ini pun dibuang ke Nederland.
Bertemu Para Bolsyewik Tua
BAGI aktivis komunis 1920-an, Vladimir Lenin, Josep Stalin, dan Leon Trotsky bukanlah nama biasa. Mereka "dewa" komunisme yang menggerakkan kaum revolusioner dunia dari Moskow. Tan Malaka beruntung bisa bertemu dengan mereka.
Komunis muda van Hindia ini tiba di Moskow pada Oktober 1922, dari Jerman. Dia sering mengunjungi pabrik, berkenalan dengan para buruh, dan cepat akrab dengan para Bolsyewik di Negeri Beruang Merah itu. Kamarnya, di salah satu bekas hotel di Moskow, menjadi tempat singgah para pemuda dan pelajar.
Ketika Komunis Internasional (Komintern) sibuk mempersiapkan kongres keempat, Tan-yang melapor sebagai wakil Indonesia-diajak ikut rapat-rapat persiapan. Tapi dia hadir sebagai penasihat, bukan anggota yang punya hak suara.
Kongres Komintern ke-4 akhirnya berlangsung pada 5 November-5 Desember 1922. Di sini Tan bertemu dengan para pemimpin revolusi Asia, termasuk Ho Chi Minh dari Vietnam.
Tan beruntung, semua wakil Asia mendapat kesempatan bicara lima menit. Giliran Tan jatuh pada hari ketujuh. Di sanalah, dalam bahasa Jerman patah-patah, dia menyampaikan gagasan revolusioner tentang kerja sama antara komunis dan Islam.
Kata Tan, komunis tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa saat itu ada 250 juta muslim di dunia. Pan-Islamisme sedang berjuang melawan imperialisme-perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme.
Menurut dia, gerakan itu perlu mereka dukung. Namun dia tahu keputusan ada di tangan petinggi partai, para Bolsyewik tua. Karena itu, di akhir pidato dia berkata, "Maka dari itu saya bertanya sekali lagi, haruskah kita mendukung Pan-Islamisme?"
Tan berbicara lebih dari lima menit. Mungkin karena pidatonya yang membangkitkan semangat, diselingi sedikit humor, ketua sidang cuma mengingatkan dia sekali dan membiarkan dia terus berpidato.
"Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah telah memberi ovasi padanya," tulis Gerard Vanter untuk harian De Tribune. "Itu merupakan suatu pujian bagi kawan-kawan kita di Hindia yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam."
Esoknya, giliran Lenin angkat bicara. Ruang pertemuan penuh sesak. Datang terlambat, Tan naik ke panggung dan duduk di tepinya, berharap bisa mendengarkan Lenin dari dekat. Tapi, sebelum Lenin tiba, panggung "disterilkan".
Seorang pengawal Lenin menarik tangan Tan sangat keras, sehingga ia terjerembap. Toh, menurut Harry Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik jilid I, Tan tetap terkagum-kagum mengikuti pidato Lenin.
Gagasan Tan mendapat dukungan penuh delegasi Asia. Tapi kenyataan itu tak terlalu disukai oleh Karl Radek, pemimpin Komintern yang membawahkan urusan Asia.
Setelah Kongres usai dan para utusan kembali ke negeri masing-masing, Tan bingung harus ke mana. Dia tak ingin kembali ke Belanda. Balik ke Indonesia pun tak mungkin.
Tan sempat meminta Komintern menyekolahkan dia, tapi ditolak. "Belum terbuka kursi profesor buat Saudara," ujar seorang temannya, mengolok-olok.
Untuk mengisi waktu luang, Radek meminta dia menulis sebuah buku. Bahan-bahan untuk menulis dipesankan dari Belanda. Tan dibebaskan menulis apa saja, yang penting tentang Indonesia.
"Saya pusatkan saja isi dan corak buku itu kepada sejarah dan statistik," tulis Tan dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara. Buku itu akhirnya terbit pada 1924, dengan judul Indonezija; ejo mesto na proboezdajoesjtsjemsja Vostoke atawa Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit.
Pemerintah Rusia mencetak lagi buku itu sebanyak 5.000 eksemplar pada 1925. Tapi Tan tak sempat menunggu "kelahiran" buku yang dia tulis dalam bahasa Rusia itu. Pada akhir 1923, dia sudah berada di Kanton, Cina, sebagai wakil Komintern untuk Asia Timur.
Dukungan untuk Pan-Islam
DI Kongres Komunis Internasional ke-4, Tan Malaka menganjurkan kerja sama dengan kaum muslim dunia melawan kapitalisme. Gagasannya tak didukung, tapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Petikannya:
.... Pan Islamisme punya sejarah panjang. Pertama saya ingin bercerita tentang pengalaman kami bekerja sama dengan kelompok muslim di Hindia. Di Jawa kami memiliki sebuah organisasi beranggotakan buruh-buruh miskin, Sarekat Islam, yang pada 1912-1916 memiliki satu juga anggota-mungkin juga tiga atau empat juta. Ini sebuah gerakan revolusioner yang amat besar dan muncul secara spontan.
Kami bekerja sama dengan kelompok ini sampai 1921. Sekitar 13 ribu anggota kami bergabung dan melakukan propaganda di dalam. Pada 1921 itu kami berhasil mempengaruhi mereka menjalankan program kami. Perkumpulan Islam itu mendorong masyarakat desa mengambil alih kendali perusahaan-perusahaan. Semboyannya: petani miskin menguasai semuanya, proletar menguasai segalanya! Jadi SI telah melakukan propaganda yang sama dengan Partai Komunis, cuma kadangkala dengan nama lain.
Tapi karena ada kritik yang tak mengenakkan para pimpinan SI, pada 1921 terjadi perpecahan. Perpecahan ini dan hasil Kongres Komintern Kedua: berjuang melawan Pan-Islamisme, kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah. Apa yang mereka katakan kepada kaum tani muslim yang sederhana? Mereka bilang: Lihat, Komunis tidak hanya memecah-belah, mereka juga ingin merusak agama kalian! Itu luar biasa bagi para petani. Mereka kemudian berpikir: Saya telah kehilangan segalanya di dunia, apakah saya juga harus kehilangan surga? Jangan sampai itu terjadi! Beginilah cara orang muslim sederhana berpikir. Propaganda seperti ini dilakukan oleh agen-agen pemerintah dengan sukses. Maka pecahlah kami.
[Ketua sidang: "Waktu Anda selesai."] Saya datang dari Hindia, 40 hari di perjalanan [tepuk tangan hadirin].
SI meyakini propaganda kami atau, peribahasanya, tetap bersama kami dalam perut mereka, meski dalam hatinya mereka tetap SI dengan surganya. Tapi karena kami tak mampu memberi mereka surga, mereka kemudian memboikot pertemuan-pertemuan kami dan kami tidak bisa lagi berpropaganda.
Mulai awal tahun lalu kami membangun kembali hubungan dengan SI. Dalam kongres di bulan Desember tahun lalu kami mengatakan bahwa kaum muslim yang ikut dalam kaukus dan di negara lain yang bekerja sama dengan Soviet melawan kapitalisme sangat paham agama kalian. Kami juga mengatakan, jika mereka ingin mempropagandakan agama mereka, silakan, tapi tolong lakukan itu di masjid, bukan di ruang-ruang sidang.
Dalam sebuah dengar pendapat kami pernah ditanyai: Apakah kalian muslim-ya atau tidak? Kalian percaya Tuhan- ya atau tidak? Bagaimana kami menjawabnya? Ya, jawab saya, ketika menghadap Tuhan saya seorang muslim, tapi manakala berhadapan dengan manusia saya bukan muslim, karena Tuhan sendiri bilang ada banyak setan di antara manusia! Jadi kami mengalahkan pimpinan mereka dengan Quran di tangan. Dan dalam kongres tahun lalu, melalui para anggota mereka, kami memaksa para pemimpin SI untuk bekerja sama lagi.
Ketika sebuah mogok massal pecah pada Maret tahun lalu, pekerja muslim membutuhkan kami karena orang kami yang memimpin para buruh kereta. Pimpinan SI bilang: Kalau kalian ingin bekerja sama dengan kami, maka bantulah kami. Tapi ini tidak menyelesaikan masalah. Jika nanti kami kembali pecah, pemerintah pasti akan kembali menggunakan isu Pan-Islamisme. Karena itu, soal Pan-Islamisme harus segera diputuskan.
Gerilya di Tanah Sun Man
IBRAHIM Datuk Tan Malaka menjejak Tiongkok pada musim dingin 1923. Kala itu Dinasti Qing sudah lama terkubur. Kerajaan masih berdiri. Namun Puyi, The Last Emperor, praktis hanya "boneka". Negeri itu larut dalam tarik-menarik antara kekuatan Asing-terutama Inggris, Amerika, serta Jepang-dan para nasionalis yang menginginkan berdirinya Republik Cina merdeka.
Bujangan 26 tahun utusan Komintern di Moskow itu tinggal di Kanton, kini Guangzhou-kota di selatan Cina yang padat. Penduduknya dua juta. Toh, bagi Tan, Kanton tak pantas disebut kota besar. Cuma ada tiga jalan utama, satu kantor pos, perusahaan listrik, dan sebuah pabrik semen yang cerobongnya menjadi satu-satunya bangunan tinggi di sana. Namun Kanton istimewa karena menjadi pusat gerakan revolusi Cina. Sun Yat-sen atau Sun Man, pemimpin Kuomintang yang pada 1912 mendeklarasikan Republik Cina, tinggal di kota ini.
Tak lama setelah menetap, Tan mengunjungi dokter Sun, diantar ketua partai komunis setempat, Tang Ping-shan. Presiden Republik Cina Selatan itu tinggal di tepian Sungai Pearl yang membelah Kanton jadi dua. Di sana, Tan juga bertemu dengan anaknya, dokter Sun Po, dan rekan seperjuangannya, Wang Chin Way.
"Berjumpa orang revolusioner di Rusia adalah perkara biasa saja," tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, mengenang pertemuan itu. "Tapi berjumpakan revolusioner besar di Asia adalah perkara istimewa." Dia begitu girang.
Mereka membicarakan banyak hal. Sun Man, misalnya, menyarankan agar Indonesia bekerja sama dengan Jepang melawan Belanda. Tapi Tan tak yakin pejuang Indonesia bisa bekerja sama dengan imperialis Jepang.
Demikianlah, setiap hari dia bepergian untuk membina hubungan dengan para tokoh Kuomintang dan orang-orang komunis di Kanton. Hingga pada Juni 1924 Tan mendapat perintah dari Moskow untuk hadir pada konferensi Serikat Buruh Merah Internasional di kota itu.
Dari Indonesia datang Alimin dan Budisutjitro. Konferensi enam hari ini hendak menggalang "gerakan" para pelaut dan buruh pelabuhan di kawasan Pasifik. Tan memimpin rapat pada hari kedua. Seharusnya Sun Man memberikan pidato pembukaan, tapi batal.
Pada hari terakhir, Tan didaulat menjadi Ketua Organisasi Buruh Lalu Lintas Biro Kanton yang baru didirikan. Tugas pertamanya menerbitkan majalah "merah" bagi para pelaut. Ini membuatnya pusing. Di samping sulit mencari percetakan yang memiliki koleksi lengkap huruf latin, Tan masih harus belajar bahasa Inggris.
Alhasil, The Dawn baru terbit beberapa bulan kemudian. Cetakannya sangat jelek. Karena kekurangan huruf, huruf kapital bisa muncul di mana saja. Kata "Pacific", misalnya, tercetak sebagai "PacifiC". Menyusul penerbitan majalah ini, Tan mencetak sebuah buku tipis berjudul Naar de Republiek Indonesia. Ini buku pertama yang menggagas sebuah negara merdeka bernama Republik Indonesia.
Kerja berat serta suhu Kanton yang teramat dingin membuat sakit paru Tan kambuh. Dia mengunjungi dokter Lee. Mengira Tan terkena tuberkulosis, dokter memberikan "suntikan emas"- terapi paling modern saat itu. Tan malah pingsan. Untunglah, setelah diinjeksi penawar racun, ia segera sadar. "Kami sangka Tuan sudah meninggal," kata dokter itu.
Tan lalu menemui dokter Rummel, orang Jerman yang telah lama membuka praktek di Kanton. Kali ini diagnosisnya physical breakdown, kecapaian. "Sebaiknyalah Tuan pergi tinggal di tropik, di negeri panas, beristirahat," katanya.
Mendengar nasihat dokter, pikiran Tan langsung tertuju ke Jawa. Perasaan rindu Tanah Air pun muncul. Maka, pada 29 Agustus 1924, dia bersurat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock, minta izin pulang ke Jawa. Dia juga berkirim kabar ke Moskow dalam surat tertanggal 24 September. "Mungkin beberapa hari mendatang saya akan ke berlibur seminggu ke Makau untuk kesehatan saya," tulisnya dengan nama samaran Hassan.
Permohonannya ditolak Gubernur Jenderal Fock. Tapi ketika itu, dengan nama Elias Fuentes, Tan sudah menyusup ke Filipina untuk mendapatkan hawa yang lebih segar. Tak sampai dua tahun, dia ditangkap polisi Filipina yang berada di bawah "genggaman" intel Amerika, Belanda, dan Inggris. Pada Agustus 1927, Tan kembali ke Tiongkok sebagai orang buangan.
Turun di Amoy, kini Xiemen, Tan berkelana ke tempat-tempat lain. Ketika angkatan bersenjata Kwangtung, Cap Kau Loo Kun atawa Tentara Ke-19, bentrok dengan tentara Jepang di Shanghai pada 1932, dia ada di sana. Sebenarnya pasukan ini datang untuk membebaskan Hu Han Min yang ditangkap Chiang Kai-shek. Dua orang penting Kuomintang ini bertikai sejak Sun Man meninggal pada 1925. Namun, ketika Tentara Ke-19 tiba, Hu sudah dibebaskan. Mereka pun menyerbu markas Jepang di Szu Chuan Road, Yang Tzepoo.
Shanghai kacau-balau. Menggunakan nama Ong Song Lee, Tan menyingkir ke Hong Kong. Kejadian di Filipina berulang, polisi Hong Kong menangkapnya. Untunglah Inspektur Murphy, pemimpin polisi Inggris di daerah koloni itu, tak mau menyerahkan Tan kepada polisi Belanda.
Setelah lebih dari dua bulan menahannya di penjara, Murphy memutuskan membuang Tan ke Shanghai. Tapi, di Pelabuhan Amoy, Tan berhasil mengecoh polisi Hong Kong yang diam-diam mengawalnya dan meloloskan diri ke darat.
Tinggal di kota pulau itu, penyakit Tan kambuh. Sinse Choa, tabib lokal di Desa Chia-be, memberinya dua jenis ramuan untuk dimasak bersama bebek dan penyu. Mula-mula Tan harus menghabiskan enam ekor bebek yang digodok dengan ramuan, seminggu satu. Setelah itu, makan satu-dua ekor penyu, juga digodok bersama ramuan. Ajaib, sakit yang 10 tahun terakhir merongrongnya perlahan-lahan hilang. "Makanan mulai mudah dihancurkan dan tidur mulai nyenyak! Inilah rasanya pangkal kesehatan," tulis Tan di buku Dari Penjara ke Penjara.
Sambil terus bersembunyi, Tan mendirikan Sekolah Bahasa Asing. Namun dia akhirnya harus meninggalkan Tiongkok untuk selamanya ketika Jepang menyerang Amoy pada 1937. Menggunakan nama Tan Min Siong, seorang Tionghoa terpelajar, dia berlayar menuju Rangoon, Burma.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127956.id.html
Penggagas Awal Republik Indonesia
BERKELANA sebagai orang buangan di saat rekan-rekannya di Tanah Air berjuang melawan imperialis membuat Ibrahim Datuk Tan Malaka nelangsa. Ia kian kesal ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu.
Maka, di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern di Tiongkok, Tan pun menulis sebuah brosur panjang: Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis: "Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat."
Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini-setiap kali dengan karbon rangkap tujuh.
Para pemimpin perjuangan, termasuk Bung Karno yang kala itu memimpin Klub Debat Bandung, membaca buku Tan. "Bung Karno selalu membawanya," kata Sayuti Melik, seperti dikutip Hadidjojo Nitimihardjo dalam pengantar edisi terjemahan Naar de Republiek.
Buku kecil ini terdiri atas tiga bab, masing-masing mengulas situasi politik dunia, kondisi Indonesia, dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia. Pada subbab terakhir, "Halilintar Membersihkan Udara", Tan mengecam kaum terpelajar Indonesia yang, menurut dia, masa bodoh dengan perjuangan kemerdekaan. Tulisnya: "Kepada kaum intelek kita seruhkan.... Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?"
Bukan cuma Soekarno yang selalu membawa-bawa Naar ke mana-mana, Muhammad Yamin juga memuja Tan. Bagi Yamin-yang kemudian bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan-Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan George Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai.
No Le Toqueis, Jawa!
" .... Jadi bukakan pintu dan jendela supaya penganjur masuk dari luar!" Manuel Quezon berseru-seru.
WAJAH Quezon langsung sumringah bila berbicara tentang Tan Malaka. Dalam Apa dan Siapa Tan Malaka, Muhammad Yamin mencatat betapa bekas ketua senat dan presiden Filipina itu tersenyum lebar ketika menyebut Tan, seorang kawan lama yang memanggil negeri pinoy itu dengan nama intim: Indonesia Utara.
Tan tak pernah tinggal lama di Filipina. Tapi kehadirannya membawa angin segar bagi gerakan nasionalis yang makin mekar setelah pahlawan mereka, Jose Rizal, dieksekusi pada 1896. Saat Tan ke sana, dua dekade sudah berlalu sejak Spanyol kalah perang. Ratusan ribu hingga satu juta orang Filipina tewas saat Amerika Serikat masuk. Jadilah negeri ini koloni dengan julukan berbau rasis, "saudara kecil kita yang berkulit cokelat".
Sepanjang 1925-1927, Tan tiga kali mondar-mandir ke Manila. Paspornya berganti-ganti: Hasan Gozali, Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Howard Law, atau Cheung Kun Tat. Tan berpindah-pindah tempat, menumpang di teman-teman yang menghargai perjuangan dia sebagai pejuang antikolonial yang eksil dari Hindia Belanda.
Tan sendiri awalnya hanya ingin tetirah, istirahat dari kesibukan mendirikan organisasi Komintern (Komunis Internasional) biro Kanton. Lagi pula, hawa Kanton yang super dingin tak cocok bagi paru-parunya. Tapi Filipina selalu istimewa di dalam hatinya. Inilah satu simpul dari pertautan Aslia, singkatan dari Annam (Vietnam), Siam (Thailand), Burma, Filipina, Malaka (Malaysia-Singapura), dan Australia Utara. Sudah lama ia percaya negeri-negeri yang berpaut sejarah sejak 5.000 tahun lalu ini mesti bangkit dari kolonialisme dan bergabung di bawah Federasi Republik Indonesia. Gagasan itu dituangkan dalam naskah buku berjudul Aslia, yang ditulis bersamaan dengan Madilog, hampir dua dekade setelah ia ke Filipina. Sayang, naskahnya tak ditemukan hingga sekarang.
Dalam biografi Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan belajar bahasa Tagalog dari Nona Carmen, putri bekas pemberontak Filipina, yang bersama ibunya mengelola sebuah asrama Filipina di Kanton. Di asrama ini ia berkenalan dengan Mariano Santos, dosen Filipina yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Lewat Apolinario, kakak Mariano yang punya posisi tinggi di Manila University, Tan mendapat tumpangan pertama. Darinya pula Tan mengenal Francisco Verona, seorang pemimpin serikat buruh, dan mulai menulis teratur di harian yang dipimpin Verona, El Debate.
Tan kemudian banyak bergaul dengan kalangan serikat buruh, wartawan, dan kaum nasionalis. Partai Komunis Filipina memang belum terbentuk hingga 1930, tapi Harry Poeze dalam Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945 mengatakan Tan bergaul akrab dengan mereka yang kemudian terlibat di dalamnya. Antara lain Crisando Evangelista, pemimpin serikat buruh kiri seperti Capadcia, Balgos, dan Dominggus Ponce dari gabungan serikat buruh Legianaros del Trabajo.
Tan senang hidup di Filipina. Teman banyak, dukungan luas, dan udaranya mirip dengan Tanah Air-meski beberapa kali ia sempat jatuh sakit. Poeze menduga di sinilah bukunya, Naar de Republiek Indonesia, dicetak kedua kalinya, meski dalam kata pengantar Tan menyebut "Kanton dan Tokyo, 1925". "Tokyo sebagai tempat penerbitan dimaksudkan untuk menipu polisi," Poeze menulis.
Gerak-gerik klandestin khas Tan berakhir ketika seorang pemburu hadiah menjebaknya di kantor El Debate suatu malam. Rupanya, korespondensi antara polisi rahasia Amerika, Inggris, dan Belanda sudah demikian giat mencari jejaknya enam bulan terakhir. Sehari setelah ia ditangkap, 13 Agustus 1927, Tan mengisi halaman muka The Philippine Herald dengan huruf besar-besar: "Seorang Jawa yang diduga agen Bolsyewik yang selama beberapa waktu diamat-amati polisi sehubungan dengan tersebarnya propaganda Bolsyewik di Filipina tertangkap malam lalu oleh polisi dan dinas rahasia."
Ramailah surat kabar Filipina, yang di bawah koloni Amerika tergolong lumayan bebas, oleh berita tentang Tan. La Vangardia mengemukakan alasan Tan ditangkap: permohonan dari pemerintah Hindia Belanda. The Manila Daily Bulletin mengungkapkan hal serupa. La Vangardia dan La Opinion mengungkapkan simpati terhadap perjuangan Tan. Bahkan harian Taliba menyatakan malu Tan terancam diusir. Mereka ingin Tan diberi suaka di Filipina.
Lihatlah sebuah kartun di harian El Debate yang menggambarkan guardia civil, polisi koloni yang represif, yang berusaha menangkap Tan. Sedangkan Tan berada dalam bayang-bayang dua ikon revolusi Filipina: Jose Rizal dan Plaridel, julukan bagi Marcelo del Pillar, pahlawan kemerdekaan yang tewas dalam pembuangan di Barcelona, 1896. "No Le Toqueis!" katanya. Artinya, "Jangan Tangkap!"
Tan bebas setelah pendukungnya membayar 6.000 peso sebagai jaminan. Tapi kasusnya batal ke pengadilan karena pemerintah kolonial Amerika keburu mengusirnya dengan tuduhan paspor palsu. Bukan cuma itu, sahabat-sahabat Tan yang terpandang bisa ikut terseret.
Tan pun pergi, meski berat hati. "Karena membawa-bawa orang-orang yang memberi pertolongan dengan ikhlas dan maksud baik, saya mengalah," katanya. Tak kurang dari Emilio Aguinaldo, pemimpin pemberontakan 1898 yang kemudian didaulat menjadi Presiden Filipina pertama, ikut menyatakan Tan sebagai "seorang patriot, pemimpin besar revolusioner, yang layak mendapat suaka".
Seperti diungkapkan Quezon kepada Yamin, para pendukung Tan ini kemudian memberinya sangu 3.000 dolar untuk menempuh perjalanan menuju Amoy (Xiemen). Quezon mengatakan rakyat Filipina sangat hormat terhadapnya.
"Waktu dia akan ke pelabuhan, dia melewati patung Jose Rizal. Hati sangat terharu melihat dua orang pahlawan: yang satu patung telah menjadi batu, yang lain masih hidup berjiwa. Dua orang pahlawan kemerdekaan; pahlawan tuan-tuan dan pahlawan kami. Sungguhlah tuan kaya! Jadi bukakan pintu dan jendela supaya penganjur masuk dari luar!" Manuel Quezon berseru-seru.
Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku
AWAL tahun 1926. Di Tanah Air, revolusi sudah "hamil tua". Dari persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis buku sepanjang 129 halaman agar kelahirannya yang prematur, menurut dia, bisa dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa Actie in Indonesia itu terlambat keluar dari percetakan. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaan Belanda. Banyak pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang.
Targetnya tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu; gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa Actie adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa ini, memperkenalkan macam-macam imperialisme, menunjukkan apa arti revolusi, dan menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat bisa dimanfaatkan. Inilah semacam cetak biru bagi revolusi massa; desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. "Massa aksi terjadi dari orang banyak yang bergerak," katanya.
Tan memperkenalkan pula kepada sesama rakyat di negeri terjajah akan pentingnya persatuan di bawah bendera Federasi Republik Indonesia; gabungan Indonesia Selatan, tempat bercokolnya Hindia Belanda, dan Indonesia Utara, alias Filipina, yang dijajah Amerika. Termasuk Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris. "Mari kita satukan 100.000.000 yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas seluruh benua Asia dan samuderanya," Tan menulis.
Dan Massa Actie pun memberikan pedoman aksi bagi kemerdekaan. Satu yang hangat diingat Hadidjojo Nitimihardjo. Ia putra Maruto Nitimihardjo, Ketua Indonesische Studieclub yang bersama kelompoknya mengadakan Kongres Pemuda Indonesia pada 26-28 Oktober 1928. Menurut Hadidjojo kepada Tempo, saat itu Maruto dan aktivis lain, Sugondo Djojopuspito, menggandeng seorang pemuda bertubuh ceking berwajah tirus. Dialah Wage Rudolf Supratman.
"W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu," kata Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie: "Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah."
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127959.id.html
Macan dari Lembah Suliki
Sejak kecil dia adalah si badung yang gandrung tantangan sampai mendapat julukan si Macan. Hidup sang Macan ternyata sunyi dari romansa. Tiga kali jatuh cinta, semuanya pupus di tengah jalan: Tan tidak pernah menikah. Perhatiannya hanya untuk perjuangan.
Si Badung dari Pandan Gadang
Tan Malaka kecil dikenal pemberani. Sering kena jewer puser. Rajin bersembahyang dan hafal Quran.
HAMPIR dua abad berlalu, rumah gadang di Nagari Pandan Gadang masih kukuh berdiri. Atap ijuk memang sudah berganti seng, tapi tiang kayu utama, dinding, dan lantai tak tergantikan. Jendela-jendela berkaca patri juga sebagian masih terawat. Di teras tertera tulisan "Tan Malaka". Rumah itu terletak seratus meter dari jalan raya yang melintasi Suliki, Payakumbuh, 120 kilometer timur laut Padang.
Rumah ini tadinya didiami keturunan keluarga besar Tan Malaka. Tapi, sejak Februari 2008, rumah itu beralih fungsi menjadi museum. Buku-buku karya Tan dipajang di lemari kaca. Baju adat saat penyematan gelar, tempat tidur, dan foto-foto Tan juga ada di situ. "Barang-barang ini dikumpulkan oleh keluarga," kata Hengky Novaron, salah satu keturunan yang kini menjadi pemangku gelar Datuk Tan Malaka.
Hampir seabad lampau, pada 1912, gelar Datuk Tan Malaka disematkan kepada remaja bernama Ibrahim. Rumah gadang itulah tempat Ibra, begitu dia dipanggil, dibesarkan. Sebuah rumah bersejarah karena pernah menjadi dapur umum pada masa perang Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia.
Ibra dilahirkan di sebuah surau-juga dijadikan tempat tinggal-yang cuma beberapa langkah dari rumah gadang. Kini surau itu tidak ada. Tanah tempat surau itu berdiri telah menjadi sawah.
Tak ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 Juni 1897, adalah Djamaluddin Tamim, teman seperjuangan Tan, dalam Kematian Tan Malaka. Ayah Tan, Rasad, berasal dari puak Chaniago, sedangkan ibunya, Sinah, berpuak Simabur. Ibra adalah sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama Kamaruddin, enam tahun lebih muda daripada sang kakak.
Syahdan, menurut penuturan Tan kepada Djamaluddin, leluhur Tan Malaka dari garis ibu adalah pendatang dari Kamang, Bukittinggi. Mereka meninggalkan Kamang karena tanah di sana kurang subur. Pada awal abad ke-19, mereka berkelana mencari tempat baru. Dalam perjalanan ke utara, mereka singgah di sebuah lembah. Mereka mendapati serumpun pandan besar yang di bawahnya mengalir mata air. Lembah subur inilah yang dipilih menjadi tempat tumbuh beranak-pinak.
Dari pihak ayah, Zulfikar, keponakan Tan, menuturkan bahwa leluhurnya datang dari Bonjol, utara Payakumbuh, ketika pecah Perang Paderi. "Waktu itu keluarga kami lari dan menetap di lembah Pandan Gadang," kata putra Kamaruddin ini. Meski cuma 23 kilometer dari pusat Kota Payakumbuh, lembah ini susah dijangkau karena jalan yang rumit berliku.
Pemerintah kolonial Belanda menempatkan seorang kontrolir, pejabat setingkat camat, di Pandan Gadang. Penanda kekuasaan Belanda pada waktu itu adalah penduduk diwajibkan menanam kopi di seperlima lahan untuk diserahkan kepada pemerintah. Pada 1908 pemerintah Belanda mengganti kewajiban tanam kopi menjadi pajak.
Keluarga Ibra mendiami sebuah rumah gadang milik kaum, lengkap dengan lumbung padi, surau, dan beberapa kolam ikan. Pandan Gadang mirip lukisan-lukisan pemandangan desa yang terpajang di pasar seni. Berlatar perbukitan, dirimbuni pohon kelapa, lengkap dengan sungai dan hamparan sawah. Kehidupan warga kampung tidak terlalu sulit. Alam begitu pemurah. Sawah dipanen dua kali setahun. Air gunung siap mengaliri sawah dan mengisi empang sepanjang tahun. "Kami memang bukan orang berada, tapi semua di lembah itu adalah milik kami," ujar Zulfikar, yang kini berusia 60-an tahun.
l l l
Ibra adalah potret bocah lelaki Minangkabau. Gemar sepak bola, main layang-layang, dan berenang di sungai. Selepas magrib dia mengaji, lalu tidur di surau. Anak lelaki, begitu kelaziman setempat, segan menginap di rumah ibunya. "Ibra seorang anak pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan sembahyang. Ia hafal Quran," kata Zulfikar, mengenang kesaksian Kamaruddin.
Soal bandel dan nekat ini dikisahkan Tan dalam Dari Penjara ke Penjara Jilid I. Ketika mengunjungi ayahnya yang ditugaskan di Tanjung Ampalu, Sawahlunto, Ibra ditantang anak-anak setempat buat menyeberang Sungai Ombilin. Orang dewasa pun kewalahan menyeberang sungai selebar 50 meter itu karena arusnya deras. Tapi Ibra memenuhi tantangan itu. "Maka tewaslah napas dan hilanglah ingatan diombang-ambingkan ombak deras."
Tubuh lemah Ibra terapung di sungai. Beruntung seorang teman bertubuh besar menyeretnya ke tepian sungai. "Setelah ingatan kembali, tiba-tiba Ibu sudah berada di depan saya dan siap memukulkan rotan sebagai pelajaran." Baru beberapa kali kena pukul, Ibra "diselamatkan" ayahnya. Demi menghindarkan Ibra dari pukulan sang ibu, Ibra diikat Rasad di pinggir jalan dan menjadi tontonan anak-anak.
Sinah tak habis akal. Dia lantas mengadukan anaknya sendiri ke Guru Gadang (guru kepala). Akibatnya, Ibra kena hukuman yang paling mengerikan buat anak-anak ketika itu: jewer puser. Entah karena kelewat badung entah sial, selanjutnya Ibra sudah terbiasa dengan jewer puser ini. Bahkan kerap ia merasa selalu menjadi anak yang paling dipersalahkan dan satu-satunya yang dihukum.
Sampai sekarang saya masih heran kenapa saya saja yang menjadi sasaran pilin pusar (jewer pusar) itu. Pernah dilakukan setelah saya hampir hanyut karena menyelam di bawah perahu yang menyeberang sungai. Lain kali ketika main sembur-semburan air. Pernah pula ketika permainan "perang jeruk" yang berujung saling lempar batu. Saya dihukum seperti "penjahat perang", dikurung di kandang ayam dan pilin pusar itu juga.
Si badung, untungnya, amat cerdas hingga terbit kagum para guru di Sekolah Kelas Dua. Mereka merekomendasikan Ibra untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Negeri untuk Guru-guru Pribumi di Fort de Kock-sekarang Bukittinggi. Ini satu-satunya lembaga lanjutan bagi lulusan Sekolah Kelas Dua, setelah menempuh pendidikan lima tahun.
Bukan perkara gampang masuk Fort de Kock. Sebutannya saja "Sekolah Raja". Cuma anak ningrat atau pegawai tinggi yang bisa masuk sekolah itu.
Ayah Ibra hanya pegawai rendahan. Sakti Agra, dalam buku Tan Malaka Datang, menyebut Rasad bekerja sebagai mantri suntik atau vaksinator. Tapi, menurut cerita Kamaruddin, ayahnya adalah mantri yang bertugas mengatur distribusi garam-yang dimonopoli penguasa-di kampung. Yang jelas, keduanya jenis pegawai rendah yang cuma bergaji belasan gulden (f). Padahal biaya makan per bulan saja Ibra memerlukan sekitar f 8.
Para guru Sekolah Kelas Dua tak putus asa. Mereka tetap berjuang agar Ibra bisa sekolah ke kota benteng. Asal-usul keluarga Ibra, dari pihak ibu, dianggap cukup untuk alasan mendaftar. Tan Malaka senior adalah salah satu pendiri Pandan Gadang dan juga membawahkan beberapa datuk.
Fakta itu ditambahi keterangan tentang kecerdasan Ibra yang luar biasa, meski waktunya lebih banyak habis buat main bola dan renang. Walhasil, pada 1907 Ibra terdaftar di Fort de Kock.
l l l
Rudolf Mrazeck, penulis buku Tan Malaka, menyebut Fort de Kock adalah rantau pertama Ibra. Para tetua kampung melepasnya. Merantau adalah jiwa masyarakat Minangkabau. Seorang perantau diyakini bakal membawa nilai-nilai kebaikan yang ada di dunia luar sana. Sistem matrilineal, juga adat anak lelaki yang tidur di luar rumah, adalah sebagian instrumen yang mendorong lelaki yang beranjak dewasa segera "terusir" dari kampung.
Di Bukittinggi, Ibra berkenalan dengan budaya negeri penjajahnya. Dia belajar bahasa Belanda. Dia bergabung dengan orkes sekolah sebagai pemain cello, di bawah pimpinan G.H. Horensma. Hobi lamanya juga tak pernah hilang: main sepak bola. Sama seperti di kampung, Ibra-yang dipanggil Ipie oleh Horensma-banyak menghabiskan waktu luangnya buat sepak bola.
Horensma di kemudian hari menganggap Ipie seperti anaknya sendiri. Dia sering mengingatkan Ipie agar meluangkan waktu lebih banyak buat belajar. Tapi sia-sia. Anak pedalaman Suliki ini tetap saja gemar bermain. Untung saja, si badung memang cerdas. Dia tak perlu mengulang untuk menyerap pelajaran. Ia selalu menjadi siswa yang paling cerdas hingga Horensma begitu terkesima. Ipie juga dikenal sebagai sosok santun dan ramah.
Ketika musim liburan tiba, Ipie kembali ke Pandan Gadang. Di rumah, ia memastikan adiknya, Kamaruddin, belajar sungguh-sungguh. Ia memang tidak mengajari adiknya, "Tapi dia marah jika adiknya yang cuma satu itu mendapat nilai rendah," kata Zulfikar. Pernah suatu ketika Kamaruddin mendapat nilai merah. Tak banyak cakap, Ipie menyeret adiknya ke empang dan berulang kali membenamkannya. "Bodoh, kamu harus belajar!"
Setahun sebelum ujian teori akhir, Ipie dipanggil pulang oleh keluarga besar di Suliki. Ia harus menerima penobatan sebagai pemangku Datuk Tan Malaka, menggantikan pemegang gelar terdahulu yang sudah uzur. Sudah menjadi adat, pelekatan gelar disertai pertunangan yang telah diatur keluarga. Tapi Ipie menolak dijodohkan. Penolakan itu mengecewakan keluarga besar. Suasana pesta pun kurang meriah.
Kembali ke Fort de Kock, Ipie tenggelam dalam pelajaran dan hobinya. Pada 1913 ia merampungkan ujian teori akhir dan ikut praktek mengajar di sekolah rendah pribumi. Entah kenapa, Ipie tidak menyelesaikan masa praktek yang tinggal satu tahun. Di sekolah rendah ini, dia mendapat kesenangan baru: mengajar baris-berbaris. Kelak, di Eropa, ketertarikan pada dunia militer mendorong Ipie melamar sebagai legiun asing tentara Jerman. Sayangnya, Jerman tidak membentuk legiun asing. Impian Tan memasuki dunia militer tak tercapai.
Horensma menyarankan agar sang datuk muda belajar di Belanda. Atas bantuan W. Dominicus, kontrolir Suliki, pemuka warga mengumpulkan f 30 per bulan untuk biaya sekolah Ipie di Belanda, Rijkskweekschool. Jaminannya adalah harta keluarga Tan Malaka. Ia harus kembali setelah tiga tahun dan membayar utang itu dengan gajinya. Kelak, utang itu tak terbayar dan dilunasi Horensma. Ipie pun cuma dua-tiga kali mencicil kepada Horensma.
Ipie menyertai Horensma ke Belanda pada Oktober 1913. Dari keluarga, hanya Kamaruddin yang melepasnya di Teluk Bayur. Menurut Zulfikar, setelah kepergian itu, Ipie putus hubungan dengan keluarga. Ia cuma dua kali menyambangi Suliki, itu pun sebentar, pada 1919 dan 1942. Satu-satunya surat yang ia kirim justru ditujukan ke Syarifah-siswi semata wayang di Fort de Kock. "Isinya ungkapan cinta, tapi tak berbalas," kata Zulfikar.
Dari Bukittinggi, cakrawala Ibra betul-betul meluas. Dia kemudian menjejakkan kaki dan turut mengukir sejarah melalui persinggahannya di berbagai kota dunia, dari Manila sampai Rusia.
Sumber: majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127961.id.html
Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem
HAARLEM, 2008. Lautan turis, penuh warna, dan berseri-seri. Para pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan bersejarah. Ada Vleeshal, pasar daging yang kini menjadi museum; Grote Kerk atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ termegah di dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika berumur 10 tahun; dan tentu saja, gedung City Hall, pusat administrasi Kota Haarlem.
Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki pertama kali di Negeri Kincir Angin pada akhir 1913. Tak sulit membayangkan bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah guru Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.
Wajah Haarlem tak banyak berubah. Struktur tata kotanya masih seperti ketika Perang Dunia Pertama dimulai. Gedung-gedung bersejarah masih berdiri, dengan komposisi yang masih sama. Hanya fungsi dari bangunan-bangunan tua yang berbeda.
Tan Malaka tinggal pertama di sebuah rumah pemondokan bersama beberapa murid Rijkweekschool di Jalan Nassaulaan, yang sekarang menjadi jalan utama yang membatasi bagian kota tua dengan bagian baru yang merupakan perluasan Kota Haarlem. Rumah yang dipilih oleh direktur sekolah guru PH Van Der Ley itu masih berdiri hingga sekarang. Lantai dasarnya menjadi semacam studio pembuatan perlengkapan dapur. Dindingnya terdiri dari bata merah. Untuk mencapai sekolah guru, Tan tinggal berjalan kaki saja.
Tapi Tan tak betah di sana. Ia pindah ke Jacobijnestraat, sebuah jalan kecil di belakang Grote Markt ini berlapis batu-batu tua yang lebarnya tak lebih dari lima meter. Jalan ini biasanya hanya dilalui pengendara sepeda.
Rumah-rumah tua dan kecil yang terlihat seperti berdesak-an di pengujung jalan ini adalah tipikal rumah buruh miskin di Haarlem awal abad ke-20. "Di sebuah rumah kecil, saya mendiami kamar loteng yang sempit dan gelap," demikian tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara. Rumah ini masih berdiri meski ringkih dimakan usia. Tapi dengan polesan yang cantik, rumah ini kini sedang berhias menjadi toko bunga dan butik nan elegan.
Berdampingan dengan rumah itu adalah Toko Buku De Vries. Toko buku inilah yang menjadi tempat yang disukai Tan selama tinggal di Jacobijnestraat. Toko buku yang dulunya menjual buku bekas itu sekarang menjual buku baru.
Loteng sempit yang diceritakan oleh Tan juga masih ada walaupun tak bisa dikunjungi karena berbeda kepemilikan dengan toko di bawahnya. Dari luar terlihat loteng itu memang sangat kecil dengan ukuran jendela yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi.
Menurut Dian Purnamasari, warga Indonesia yang tinggal di Haarlem, Jacobijnestraat dulunya adalah daerah permukiman buruh. Sekarang tempat itu merupakan daerah mahal yang akan diubah menjadi salah satu daerah chic karena lokasinya yang strategis persis di tengah kota.
l l l
Kedatangan Tan Malaka di Belanda disambut aura kemiskinan Haarlem yang sedang jatuh-bangun menghadapi depresi ekonomi. Ratusan pabrik penyulingan bir gulung tikar. Pabrik tekstil yang sempat menjadi tulang punggung kota ini juga bertumbangan. "Belum lama di Belanda, sudah terasa konflik antara jasmani dan keadaan," kata Tan dalam tulisannya.
Dalam kondisi seperti itulah, Ibrahim memulai pendidikannya sebagai calon guru. Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan masyarakat, iklim, serta kehidupan yang baru. Tapi yang paling sulit adalah mencerna makanan khas Eropa. "Bahan makanannya memang baik dan berzat, tapi cara pengolahnya tak keruan," ucapnya.
Dengan uang saku yang cuma 50 gulden setiap bulan, Tan hanya sanggup tinggal bersama keluarga miskin, E.A. Snijder, di Nassaulaan 29-Rood. Baru setelah mendapat pinjaman pendidikan 1.500 gulden dari Dana Pendidikan dan Studi Hindia belanda (NIOS)-atas bantuan pensiunan mayor jenderal A.N.J. Fabius-Ibrahim mendapatkan kamar lebih baik di rumah pasangan Gerrit van Der Mij di Jacobijnestraat 7-Rood. Di sini Tan, yang dipanggil Ipi oleh kawan-kawannya, menghuni sejak 24 April 1915 hingga 11 Juli 1916.
Sayangnya, keturunan keluarga Van Der Mij tak ada lagi. Menurut catatan administrasi Haarlem, Van Der Mij meninggal pada 1916, disusul wafatnya sang istri pada 1937. Adapun anak mereka satu-satunya, Hilbrand Anthonie van Der Mij, meninggal pada 1947 tanpa keturunan.
Hampir setiap hari Tan bersepeda menuju gedung Rijkweekschool di tepi Sungai Spaarne. Jaraknya 10 hingga 15 menit bersepeda. Pada 1915, Rijkweekschool pindah ke gedung baru di Leidsevaart, yang persis berhadapan dengan kanal kecil-yang bermuara di Sungai Spaarne. Tak seperti gedung lama yang diimpit oleh jalan dan tak punya halaman, gedung baru di Leidsevaart lebih besar dengan halaman depan yang luas. Untuk sampai ke sini setidaknya dibutuhkan waktu hingga 20 menit.
Perpindahan gedung ini tampaknya jadi kebanggaan Kota Haarlem kala itu, sehingga beritanya pun terbit dalam salah satu edisi koran Panorama pada 1915. Koran ini memuat foto seluruh siswa Rijkweekschool, termasuk Tan.
l l l
Semangat Tan menempuh pendidikan sekolah guru ke Belanda tak lepas dari campur tangan G.H. Horensma. Dia berhasil meyakinkan Direktur van der Ley bahwa Tan pintar dan cerdas. "Pemuda ini banyak bakat dan energinya, tingkah lakunya baik sekali, rapi dan gairah belajarnya besar," tutur Van Der Ley kepada schoolopziener di Distrik Haarlem.
Di sekolah, Tan dapat mengatasi masalah pelajaran. Ia berbakat dalam ilmu pasti. Ini mengherankan para gurunya, yang berpikiran bahwa orang Hindia tak pandai ilmu pasti. Dia justru amat membenci ilmu tumbuh-tumbuhan karena harus menghafalnya. "Bencinya lebih besar ketimbang benci makan roti dan keju," ujarnya.
Guru dan teman-temannya mudah menerima Tan yang pandai bergaul sekalipun ada kendala bahasa. Dia aktif bermain sepak bola dan main biola bersama orkes sekolah. Terkadang dia memamerkan tari-tarian Minangkabau kepada teman-temannya.
Untuk urusan sepak bola, ia dikenal memiliki tendangan yang kencang. Tan bergabung dengan klub Vlugheid Wint. Kakinya sering terluka lantaran tak bersepatu. Tan juga kerap mengabaikan peringatan teman-temannya agar mengenakan jaket tebal pada saat istirahat pertandingan. Bahkan dalam kondisi sakit pun, nafsu bermain sepak bola Tan tak padam.
Dengan kualitas makan yang buruk, kamar yang tak sehat, dan tak pernah mengenakan jaket tebal, Tan mulai terserang radang paru tepat pada musim panas 1915. Sejak itu, dia tak pernah seratus persen sehat. Pada awal 1916 kesehatannya mundur lagi sehingga sulit mengikuti pelajaran di sekolah. Bahkan ujian pun dilaluinya dalam kondisi ambruk.
l l l
Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya pemahaman politik Tan. Dia kerap terlibat diskusi hangat antara teman satu kos, Herman Wouters, seorang pengungsi Belgia yang melarikan diri dari serbuan Jerman, dan Van der Mij. Dari diskusi itu, Tan tersadar bahwa dunia tengah bergolak. Sekonyong-konyong, sebuah kata baru mulai jadi subyek misterius bagi Tan Malaka: revolusi.
Namun dia tak langsung menjadi partisipan aktif, "Politik bagi saya adalah terra incognita," ucapnya. Dia lebih banyak mengamati dan mendengar sambil ikut-ikutan membaca De Telegraf, surat kabar yang anti-Jerman dan Het Volk yang rajin menyerukan pesan antikapitalisme dan antiimperialisme. De Telegraf adalah koran langganan Mij. Het Volk merupakan media yang selalu dibaca Wouters.
Tan Malaka tak bisa menghindar dari perkembangan politik dunia. Perang yang berkecamuk telah mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Selain membaca koran-koran "kiri", dia mulai lapar informasi politik. De Vries semakin rajin dikunjungi termasuk toko buku lain di ujung Jacobijnestraat. Buku karya para filsuf dan pemikir populer pada zaman itu menjadi santapannya, seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht (Will to Power) karya filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitu pula The French Revolution karya Thomas Carlyle, penulis esai ternama Skotlandia. Dari buku ini Tan Malaka mengenal semboyan liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).
"Tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner," tutur Tan Malaka dalam tulisannya.
l l l
Tan meninggalkan Haarlem pada 1916 dan pindah ke Bussum. Jarak Haarlem-Bussum dengan kereta api biasa ditempuh selama satu setengah jam. Di kawasan Korte Singel, Bussum, dia tinggal bersama keluarga Rietze Koopmans. Rumah keluarga Koopmans masih berdiri hingga kini dan tetap sama seperti ketika Tan tinggal di sana hingga Mei 1918.
Rumah bercat putih gading dengan struktur kayu itu dikelilingi pohon rimbun. Penghuninya yang sekarang baru setahun menempati rumah yang sangat asri itu. Mereka pun antusias ketika mengetahui rumahnya dulu ditempati seorang tokoh nasional Indonesia. Sayangnya, pasangan ini menolak menyebut nama. Menurut mereka, setidaknya ada empat keluarga yang menghuni rumah itu sebelumnya.
Kepindahan ke Bussum membuat Tan Malaka lagi-lagi tersadar, hidup tak sekadar penjajah dan terjajah. Di kota ini dia menemukan pola hidup borjuis yang berjurang luas dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang mencolok antara gaya hidup mewah Koopmans dan keluarga Van der Mij yang proletar.
Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917 juga memberi keyakinan pada Tan bahwa dunia sedang beralih ke sosialisme. Berbagai gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun berseliweran dalam benak Tan.
Lalu datanglah tawaran dari Suwardi Surjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara agar dia mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda. Di forum inilah, untuk pertama kali, Tan membeberkan gagasan, yang selama ini bersemayam dalam pikirannya, secara terbuka.
Berikutnya Tan tinggal di Gooilandscheweg, kawasan borjuis yang awet hingga kini. Ketika Tempo berkunjung, rumah itu sepi. Penghuninya sedang tak di tempat. Tetangga kanan-kiri berjauhan. Tan menulis, daerah Gooilandscheweg memang daerah borjuis, dipenuhi rumah peristirahatan nan cantik yang jaraknya berjauhan.
Di rumah ini Tan mulai putus asa karena tak lulus ujian untuk izin mengajar sebagai guru di Belanda. Padahal dia harus mulai bekerja agar bisa membayar utangnya kepada NIOS. Pada saat yang sama, dia semakin aktif mengunjungi rapat-rapat Indie Weerbaar (Pertahanan untuk Hindia), yang sering diadakan Himpunan Hindia.
Sebagai pelajar dari bangsa terjajah, Tan Malaka akhirnya merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajahan dan mulai membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan izin mengajar namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan memutuskan pulang ke Indonesia pada 1919.
Tan pulang hanya dengan satu cita-cita: mengubah nasib bangsa Indonesia. Sayangnya, karena cita-cita ini jugalah Ibrahim harus kembali lagi ke Belanda pada 1922. Kali ini bukan sebagai pelajar, melainkan buangan politik.
Sumber: majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127962.id.html
Sobatmu Selalu, Ibrahim
Sobat yang baik, Aku sama sekali tidak lupa memberitahukanmu bahwa aku telah gagal. Tidak sampai hati aku mengirimkan kartu pos bergambar dari Zandvoort padamu. Hari ini dan kemarin aku hanya banyak bersenang-senang dengan gadis-gadis, hingga aku merasa bahwa bersedih-sedih atas kegagalan itu hanya akan jadi bahan tertawaan saja....
Semoga kau mencapai sukses. Kuatkanlah hatimu, Kawan. Jika aku masih di Zandvoort, aku akan ke H (Haarlem) pada waktu hasil ujian diumumkan.
Tabek, Ieb Parkstr. 5, Zandvoort
(disadur dari kartu pos asli berbahasa Belanda yang dikirimkan Tan Malaka kepada Dick J.L. van Wijngaarden)
KARTU pos itu sudah lusuh dan kecokelatan termakan usia. Maklum, usianya sudah mencapai 80 tahun. Namun kartu itu tersimpan rapi dalam sebuah album bersama puluhan kartu pos lainnya. Di balik kartu pos terdapat gambar seorang gadis Belanda berbaring di atas pasir sambil tertawa menghadap kamera. Di belakangnya terlihat pantai Zandvoort yang terkenal sebagai pantai nudis-karena sering dikunjungi kelompok yang jarang berpakaian.
Ini hanya salah satu dari sekian banyak kartu pos yang dikirimkan Ibrahim Datuk Tan Malaka kepada sahabat karibnya selama di Belanda, Dick J.L. van Wijngaarden. Dia adalah teman curhat Ibrahim dalam segala hal. Mereka pernah satu kelas dan sempat tinggal di pemondokan yang sama di Bussum sampai Van Wijngaarden harus masuk militer.
Kedekatan Ipie atau Ieb-panggilan akrab Tan Malaka-dengan Dick tergambar dalam surat-menyurat yang cukup teratur dikirimkan hampir setiap bulan, sejak Tan Malaka pindah ke Bussum pada 1916 hingga 1921 ketika sudah kembali ke Tanah Air. Isi surat Tan selalu tentang apa yang dilakukannya sehari-hari. Nyaris tidak pernah menyentuh soal-soal politik. Tan juga sering mengadu soal betapa sulitnya ujian untuk mendapatkan izin mengajar sebagai guru. Sebaliknya, surat Dick van Wijngaarden kepada Tan lebih sering berisi kata-kata pemberi semangat agar mereka berdua sama-sama tak menyerah di zaman yang sulit itu.
Van Wijngaarden menyimpan dengan rapi semua surat Tan Malaka. Sayangnya, surat-surat Van Wijngaarden untuk Tan Malaka tak satu pun yang tersisa. Hingga suatu hari datanglah surat dari Harry Poeze, peneliti dari Universitas Amsterdam, yang mengabarkan soal penelitian terhadap tokoh komunis Indonesia itu.
Van Wijngaarden langsung mewariskan semua surat Tan Malaka kepada Poeze yang sudah melakukan penelitian sejak 1970-an. "Dick bilang, siapa lagi yang bisa menyimpan dan memanfaatkan surat-surat ini kalau bukan saya," kata Poeze kepada Tempo.
Beruntung Poeze menemukan Dick yang masih hidup dan menyimpan sebagian bukti tertulis Tan Malaka. "Van Wijngaarden yang paling banyak menyimpan surat dan kartu pos dari Tan Malaka," ujarnya.
Sahabat Tan Malaka yang lain adalah Arie de Waard, kawan sekelasnya di sekolah guru di Haarlem. Keakraban itu terjalin ketika De Waard ditugasi direktur sekolah membantu Ibrahim memahami pelajaran sekolah. "Karena saya senang padanya, saya tak keberatan. Ibrahim diperintahkan selalu memperhatikan nasihat-nasihat saya," demikian tutur De Waard dalam suratnya kepada Poeze.
Dengan De Waard inilah Tan banyak mendiskusikan pikiran politiknya. De Waard pun menjadi paham kenapa nilai-nilai pelajaran Tan Malaka menurun. Rupanya, Tan sedang kecanduan membaca buku-buku politik. "Mulanya susah payah saya mengajaknya untuk belajar kembali... sekarang saya tahu mengapa angka-angka rapornya menurun," tulis De Waard.
Tapi, menurut De Waard, kebiasaan Tan mengemukakan pendapatnya tentang revolusi menghasilkan nilai positif lain. "Dia telah belajar menyatakan pikirannya dengan baik sekali."
Selama enam tahun pertama di Belanda antara 1913 dan 1919, Tan tak hanya akrab dengan Dick dan De Waard. Sepucuk surat lain untuk Poeze dari C. Wilkeshuis menegaskan hal ini. "Ia segera diterima dalam masyarakat kelas kami. Tak ada sama sekali apa yang disebut 'diskriminasi bangsa'. Kami menganggapnya sebagai orang Hindia Timur yang menarik perhatian," tulis Wilkeshuis.
Tapi tentu saja yang paling berjasa bagi kehidupan Tan Malaka adalah G.H. Horensma, warga Belanda di Bukittinggi yang mensponsori pendidikan guru Ibrahim. Berkat dialah, Ibrahim tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang diterima di sekolah guru Haarlem.
Sumber: majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127963.id.html
Trio Minang Bersimpang Jalan
OBROLAN tiga anak muda di rumah Darsono, tokoh komunis Indonesia, di Berlin, Jerman, pada pertengahan Juli 1922 itu berlangsung gayeng. Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen.
"Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx menyebut diktator proletariat," Hatta, 20 tahun, menyela.
"Itu hanya ada pada masa peralihan," Tan menukas. Dia melanjutkan, "Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator orang-seorang."
Hatta menceritakan kembali percakapan itu dalam Memoir (1979). Dalam buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh tahun. Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Tapi, kepada Z. Yasni yang mewawancarainya pada 1977, Hatta mengatakan bahwa dalam diktator proletariat yang berkuasa tetaplah para pemimpinnya.
Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan percaya, jika digabung, Pan-Islamisme dan komunisme bisa menjadikan Indonesia digdaya.
Menurut Anwar Bey, bekas wartawan Antara yang menjadi sekretaris pribadi Adam Malik, Hatta dan Tan sudah seperti musuh. Kepada Bey, Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan. "Dia selalu menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan," katanya.
Hatta, kata Bey, sebetulnya sudah tak senang kepada Tan sejak di Amsterdam. Pada 1927, setahun setelah "pemberontakan" Partai Komunis Indonesia yang gagal, Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan pimpinan revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua PKI, yang langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak.
Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara dengan Soekarno dan didengar Anwar Bey, sebagai sikap sentimen Tan kepadanya. "Padahal, Tan Malaka hanyalah berpandangan bahwa pemimpin revolusi tak boleh dipegang orang selain komunis," kata Bey.
Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta menawari Tan ikut dalam pemerintahan. "Tidak, dua (Soekarno-Hatta) sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja," kata Tan. Hatta menganggap penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda.
Tak mengherankan ketika Soekarno keceplosan membuat testamen lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro. "Agar mewakili semua kelompok," katanya.
Selain dengan Hatta, Tan Malaka juga berselisih paham dengan Sutan Sjahrir, yang juga berasal dari Minang. Menurut Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978), pada awal-awal kemerdekaan Sjahrir menolak bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta.
Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure, Sjahrir-yang menganut ideologi sosial-demokrat-ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda. Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia "merapat" ke kubu Inggris-Amerika sebagai "penguasa" baru nusantara. Sekutu memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap "Bung Kecil" itu berpikiran modern dan disukai Belanda.
Sjahrir kemudian gencar mengampanyekan politik diplomasi. Dalam kampanyenya, seperti tertuang dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir telak-telak menyatakan akan menyingkirkan semua kolaborator Jepang. Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga Jenderal Soedirman sebagai salah satu pemimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan Jepang.
Perselisihan makin runcing ketika Sjahrir menjadi perdana menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Meski tak banyak komentar lisan, dalam Demokrasi Kita, Wakil Presiden Hatta mengecam perubahan itu. "Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya," katanya.
Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapat ke kubu Tan Malaka yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. "Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijaksaan sendiri," kata Soedirman kepada Adam Malik.
Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen politik di Purwokerto, Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan faksi Persatuan Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.
Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai politisi-cum-sejarawan: Muhammad Yamin. Ia aktif di Persatuan, tapi sering jalan dengan sikapnya sendiri. Tanpa konsultasi dengan pimpinan Persatuan, Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946.
Situasi adem itu tak berlangsung lama. Tak lama kemudian Soekarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, para pemuda Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara.
Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Tapi konflik tak begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.
Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang itu karena mereka lahir dari lingkungan yang berbeda, meski sama-sama belajar Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adat Tan seorang raja tapi miskin secara ekonomi, sedangkan Hatta-Sjahrir kelas menengah secara ekonomi. Tan orang udik, Hatta dari Bukittinggi dan Sjahrir dari Padangpanjang dari keluarga pedagang.
Meski sama-sama dibuang, Hatta-Sjahrir masih menerima penghasilan. Sedangkan Tan tak punya pendapatan pasti dalam pelarian, hidupnya susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha di Banten Selatan. Pasase hidup yang membuatnya kian mantap menjadi Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda di Deli. Ia melihat langsung bagaimana orang sebangsanya ditindas menjalani kuli kontrak.
Berbeda dengan Hatta, kendati sering berseberangan, hubungan pribadi Tan dengan Sjahrir relatif bagus. Menurut Poeze, Sjahrir pernah dua kali menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa, Tan menolak.
Sumber: majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127964.id.html
Perempuan di Hati Macan
RAPAT tetua adat Nagari Pandan Gadang, Lima Puluh Kota, berlangsung sengit. Ibrahim, yang belum genap 17 tahun, menolak gelar datuk. Padahal dia anak lelaki tertua keluarga Simabur, yang harus memangku gelar itu sebelum ayahnya meninggal. "Ibunya memberi pilihan: menolak gelar atau kawin," kata Zulfikar Kamaruddin, 60 tahun, keponakan Ibrahim, kepada Tempo pada Juli lalu.
Ibrahim menyerah dan menerima gelar tertinggi dalam adat Minang itu. Maka nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Sebagai datuk, ia membawahkan keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta penobatannya, pada 1913, digelar tujuh hari tujuh malam.
Pesta itu sekaligus penyambutan orang rantau yang baru lulus sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi dan pesta perpisahan. Sebab, datuk muda itu akan segera ke Belanda. Ibrahim mendapat beasiswa sekolah guru di Rijkskweekschool, Haarlem. Hal ini berkat jasa baik guru Belanda yang mencintainya: Gerardus Hendrikus Horensma, setelah uang saweran orang sekampung tak cukup untuk ongkos Ibrahim.
Rupanya, penolakan Ibrahim terhadap perjodohan yang diatur Sinah, ibunya, ada bersebab. Telah ada gadis lain di hatinya: Syarifah Nawawi, anak keempat Nawawi Sutan Makmur-guru bahasa Melayu di Kweek yang membantu Charles van Ophuijsen menyusun Kitab Logat Melajoe (dikenal sebagai tata bahasa Ophuijsen) pada 1901.
Syarifah adalah perempuan Minang pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa. Ada 75 murid di sana. Menurut Gedenkboek Kweekschool 1873-1908, Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Jumlah murid di kelas mereka 16 orang. Syarifah menjadi kembang karena satu-satunya perempuan di sekolah yang kini menjelma jadi SMA Negeri 2 Bukittinggi itu. Dan Ibrahim satu dari tiga siswa yang melanjutkan studi ke Belanda.
Ibra dan Syarifah pun terpisah ribuan mil. Tapi itu bukan halangan bagi sang Datuk untuk terus menjalin hubungan. Ia rajin mengirim surat kepada Syarifah, yang melanjutkan studi sekolah guru di Salemba School, Jakarta. Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan.
Menurut sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze, Syarifah tak pernah sekali pun membalas surat-surat itu. "Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh," begitu katanya kepada Poeze sewaktu mereka bertemu pada 1980. Syarifah tak menjelaskan di mana keanehan orang yang menaksirnya itu.
Syarifah kemudian menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur yang sudah punya lima anak dari dua selir, pada 1916. Maka muncullah anekdot di keluarga dan di kalangan penulis sejarah Tan Malaka: Tan menjadi Marxis karena kegagalannya dalam cinta pertama. Dia menjadi amat antiborjuis dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya. "Tapi ini cuma anekdot," kata sejarawan Bonnie Triyana.
Tan kemudian mulai membuka hatinya untuk gadis lain: Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran berdarah Belanda. Dia terlihat sering datang ke pondokan Tan. Dengan Fenny, Tan kabarnya menjalin hubungan cukup serius. Fenny bahkan sempat ke Indonesia menyusul Tan. Sayang, tak ada banyak catatan dan keterangan soal hubungan mereka. Fenny keburu meninggal saat akan ditemui Poeze.
Di Rusia, sewaktu menghadiri sidang Komunis Internasional dan tinggal tiga tahun, Tan diberitakan sempat berhubungan dengan seorang perempuan sana. Menurut Poeze, ada satu koran yang menulis hubungan percintaan Tan dengan perempuan tersebut.
Tan Malaka memang selalu punya hubungan mendalam dengan perempuan di setiap negara yang ia kunjungi. Di balik cerita heroiknya berpindah dari satu negara ke negara lain dalam pelarian, selalu muncul sosok perempuan: yang menolong, yang merawat tubuhnya yang sakit, atau sekadar teman.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan menulis nama-nama perempuan di sekitar hidupnya. Tapi tak ada penjelasan apakah hubungan itu juga dilandasi cinta. Di Kanton, misalnya, ia menyebut "Nona Carmen", anak perempuan Rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk Filipina, merawat, dan mengajarinya bahasa Tagalog. Di Cina, pada 1937, ada gadis 17 tahun yang ia sebut AP sering datang mengadu dan meminta diajari bahasa Inggris.
Sesudah Proklamasi 1945, Tan yang tak lagi klandestin tersiar punya hubungan serius dengan Paramita Rahayu Abdurrachman. Perempuan 25 tahun ini keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Dia tinggal di paviliun rumahnya di Cikini. Tan sering datang ke sana.
Saking lengketnya mereka, teman-teman dekatnya menganggap Paramita tunangan Tan. Padahal umur mereka terpaut 26 tahun. Kepada Poeze yang menemui Paramita pada 1980, perempuan yang tak menikah hingga meninggal pada 1986 itu mengaku mencintai Tan. Namun "pertunangan" itu tak sampai ke jenjang pernikahan.
Situasi politik membuat Tan kembali harus lari dan bersembunyi dari kejaran Kempetai Jepang. Hubungan mereka pun retak. Lagi pula, kata Paramita kepada Poeze, Tan Malaka orang yang hidup tak normal. "Dia kelewat besar buat saya," katanya. "Dia menginginkan saya seperti sosok Raden Ajeng Kartini."
Ironisnya, ibu Paramita tak lain teman karib Syarifah Nawawi. Minarsih Soedarpo-Wiranatakoesoema, anak bungsu Syarifah, sama-sama aktif di Palang Merah Indonesia dengan Paramita. "Ibu saya cuma bilang kenal Tan sewaktu di Kweekschool," kata Minarsih, 84 tahun. Paramita, sebetulnya, waktu itu menaksir pemuda Hatta, yang juga sering berkunjung ke rumah Soebardjo.
Syarifah sudah menjadi janda dengan tiga anak. Wiranatakoesoema menceraikannya pada 1924 karena menganggap Raden Ayu ini tak bisa mengikuti tata krama Sunda yang amat feodal. Cinta lama Tan pun bersemi kembali. Menurut Minarsih, Tan mendatangi ibunya dan meminang, tapi lagi-lagi ditolak.
Lalu siapa perempuan yang betul-betul dicintai Tan Malaka seumur hidupnya? Syarifah? Sepertinya bukan.
Syahdan, suatu hari Adam Malik-koleganya di Persatuan Perjuangan yang menjadi wakil presiden pada zaman Soeharto-bertanya kepada Tan Malaka, "Bung, apa Bung pernah jatuh cinta?"
Tan, seperti ditulis Adam dalam Mengabdi Republik, langsung menjawab, "Pernah. Tiga kali malahan. Sekali di Belanda, sekali di Filipina, dan sekali lagi di Indonesia. Tapi, yah, semua itu katakanlah hanya cinta yang tak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan."
S.K. Trimurti, Menteri Perburuhan pada zaman Soekarno, menyatakan itu jawaban jujur Tan Malaka. Kepada Poeze, Trimurti bercerita, Tan yang dipanggil "Macan" sewaktu di Belanda relatif "bersih" dalam urusan asmara. "Beliau belum pernah bicara soal perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan seks," tulisnya dalam Peringatan Sewindu Hilangnya Tan Malaka (1957).
Itu pula sebabnya, ketika tetua adat Pandan Gadang "melelang"-nya dalam upacara perjodohan sewaktu ia pulang dari Belanda pada 1919, Tan menolak banyak pinangan. Setelah tak tahan mengajar di sebuah perusahaan perkebunan di Deli, si Macan menyiapkan keberangkatannya ke Semarang. Dia menyongsong hidup dan kematiannya yang-mengutip kalimat Poeze-"lebih dahsyat ketimbang fiksi".
Sumber: majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127968.id.html
Wawancara Setelah Mati
NOVEMBER 1945. Tan Malaka sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya. Di dalam mobil yang ditumpanginya, dia membawa serta bahan buku Madilog. Belum sampai di tempat tujuan, terbetik kabar sudah ada "Tan Malaka" di Surabaya. Dia berorasi di hadapan para pejuang kemerdekaan. Pidatonya disiarkan stasiun radio lokal.
Begitu tiba di Surabaya, ia ditahan sejumlah aktivis, begitu juga Tan yang sudah berpidato. Soemarsono, pemimpin pemuda pejuang di Surabaya, membawa keduanya ke sebuah rumah. Menurut Harry A. Poeze, pengarang buku tentang Tan Malaka, kedok Tan palsu terbongkar lantaran penjelasannya tidak masuk akal. "Gara-gara kasus itu, hampir saja bahan Madilog hilang," kata Tan dalam pengantar bukunya tersebut.
Kisah Tan gadungan tak cuma sekali. Pada 1949, nama Tan muncul dalam sebuah wawancara di koran lokal di Kediri, Jawa Timur. Yang menggelikan, pemuatannya terjadi setelah Tan meninggal. Menurut Poeze, jawaban-jawaban dalam wawancara juga tak sesuai dengan pemikiran Tan Malaka.
Peniruan atas Ibrahim Datuk Tan Malaka menurut Poeze, didorong kepentingan pribadi, seperti keuntungan finansial dan ketenaran, serta penjajah. Pemerintah kolonial Jepang berkepentingan menciptakan duplikat Tan Malaka. "Tujuannya, memancing orang-orang radikal keluar," kata Poeze. Siasat ini cukup berhasil. Sejumlah orang gerakan bawah tanah ditangkap dengan pancingan itu. Namun tak ada satu pun teman dekat Tan yang masuk perangkap.
Tan Malaka pun tahu bahwa dia "terkenal" pada masa itu. Ketika Tan ke Medan pada awal 1942, seorang pedagang buku loakan mengatakan kepadanya bahwa "Tan Malaka" berada di Padang dan sedang berpidato sebagai tentara Nippon berpangkat kolonel. "Saya maklum, Jepang melakukan taktik ini untuk menipu rakyat," kata Tan dalam biografinya, Dari Penjara ke Penjara.
Pencarian terhadap dirinya dimulai saat ia aktif di partai. Pada 1921, ia memimpin Partai Komunis Indonesia, menggantikan Semaun yang pergi ke Moskow. Sejak itu, sepak terjangnya selalu diawasi penjajah Belanda. Bahkan jaringan polisi internasional pun memburunya.
Tan juga pernah "dipalsu" dalam roman-roman berbumbu cerita spionase. Hasbullah Parindurie adalah orang pertama yang menulis kisahnya. Bahan utamanya dari Tan sendiri, berupa lima surat yang dikirim ke Adinegoro, pemimpin Pewarta Deli. Awalnya, surat-surat itu ditampilkan sebagai cerita bersambung di surat kabar itu pada Juli-September 1934 dengan judul "Spionnage-dients". Empat tahun kemudian, Hasbullah menerbitkannya menjadi buku roman berjudul Patjar Merah Indonesia dan ia memakai nama samaran Matu Mona.
Buku ini berlatar kehidupan Tan di Thailand, Singapura, Kamboja, dan Hong Kong dalam kurun 1930-1932. Selain berbicara tentang politik, ada kisah cinta Tan yang dalam cerita itu bernama Vichitra atau Patjar Merah dengan Ninon Phao, seorang putri Thailand. Menurut Ichwan Azhari, Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Sumatera Utara, roman semacam Patjar Merah kala itu diburu pembaca. "Itu membuatnya menjadi sosok yang dimitoskan," kata Ichwan.
Setelah itu, masih ada beberapa roman tentang Tan Malaka. Salah satunya Tan Malaka di Kota Medan karangan Muchtar Nasution, yang bernama pena Emnast. Roman yang pertama kali diterbitkan pada 1941 itu, menurut Ichwan, juga diburu pembaca. Ini berlangsung hingga awal kemerdekaan. Dengan gaya hidup Tan yang selalu menyamar, tak mengherankan jika dia menjadi legenda, sekaligus sosok misterius pada masanya.
Sumber: majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127969.id.html
Misteri Mayor Psikopat
MENGAPA Tan Malaka ikut Mayor Sabarudin bergerilya ke Kediri? Inilah teka-teki yang sampai hari ini belum terjawab. Harry Poeze terheran-terheran, Tan yang sangat intelektual dan berpengalaman dalam sejumlah royan itu menyanggupi ajakan Sabarudin berjuang ke Kediri. "Padahal Sabarudin dikenal sebagai seorang gila, bahkan psikopat," ucap Poeze.
Sabarudin memang pengagum Tan. Tapi, kata Poeze, ia berperilaku aneh: kadang tak terkontrol menembak tawanannya dan disebut senang minum darah musuh. Tindakan Sabarudin yang keterlaluan itulah yang menyebabkan Soengkono membubarkan batalion Sabarudin. Lantaran batalionnya dibubarkan, ia memilih jalan sendiri.
Ketika Tan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, Sabarudin datang dari Kediri menemui Tan di Yogyakarta. Saat itu Tan bukan ketua, tapi duduk di dewan partai. Pada hari pendirian partai itulah Tan memancangkan program kerja sama antara rakyat biasa dan kesatuan militer. Ia meminta Murba banyak mendirikan organisasi pertahanan rakyat. Ini adalah perwujudan dari ide Tan Malaka dalam bukunya, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi).
Program Murba itu segera disambut Sabarudin. Ia mengajak Tan berkeliling Jawa Timur. Sabarudin menjamin keamanan Tan Malaka. Bukti yang ia perlihatkan: ia membawa 50 pengawal. Dengan jaminan yang menggiurkan ini, Tan berangkat naik kereta api khusus dengan 50 pengawal dari Yogyakarta ke Kediri. Di Desa Belimbing, Kediri, Tan kemudian mendirikan Markas Murba Terpendam dan mengedarkan pamflet perlawanan terhadap Sekutu dan Soekarno-Hatta yang menolak bergerilya.
Tapi ia tak menduga, bersamaan dengan serbuan Belanda ke Kediri, datang pula pasukan Batalion Sikatan. Batalion Sabarudin kocar-kacir dan "sang psikopat" entah pergi ke mana. Beberapa bulan kemudian Sabarudin tewas. "Ini kesalahan besar Tan Malaka," ucap Poeze.
Sumber: majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas Saran dan masukannya yang membangun.